Pembangunan Drainase Vertikal Tuai Perdebatan
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengintruksikan percepatan pembangunan 1.300 drainase vertikal untuk mencegah genangan pada musin hujan sekaligus cadangan air tanah di musim kemarau. Namun, pembangunan drainase vertikal ini masih menimbulkan perdebatan beberapa pihak.
Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, pembangunan drainase vertikal ini dinilai kurang efektif karena sifat tanah di sebagian wilayah di DKI Jakarta sudah jenuh. Hal ini membuat daya serap tanah menjadi tidak maksimal.
“Tanah Jakarta sebagian besar sudah jenuh. Akibatnya tanah tidak mampu menyerap air lagi. Jadi program itu (drainase vertikal) efektivitasnya tidak bisa maksimal,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Tanah Jakarta sebagian besar sudah jenuh. Akibatnya tanah tidak mampu menyerap air lagi. Jadi program itu (drainase vertikal) efektivitasnya tidak bisa maksimal.
Baca juga: Jakarta Banjir sejak Dulu
Vertikal drainase itu semacam lubang biopori sedalam 4,5 meter yang dilengkapi dengan bak kontrol. Pembangunan drainase akan dilakukan di berbagai lokasi lahan terbuka milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama di daerah cekungan dan rawan timbul genangan. Selain itu, pembangunan juga dilakukan di daerah tempat air bisa langsung jatuh ke tanah.
Sebelumnya, Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 131 Tahun 2018. Instruksi itu guna mempercepat pembangunan drainase vertikal di lahan milik pemerintah provinsi DKI Jakarta. Dalam instruksi disebutkan, setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) memiliki tanggung jawab di masing-masing wilayah.
Dinas Sumber Daya Air (SDA) bertanggung jawab terhadap pembangunan drainase vertikal di badan air di sepanjang kali ataupun sungai. Dinas Bina Marga di trotoar sepanjang jalan, dan Dinas Kehutanan di lahan taman dan makam. Ditargetkan, 1.300 drainase vertikal selesai di tahun 2019 dan 1.300 titik lagi pada 2020. Hingga 2022, ada 5.300 drainase vertikal terbangun.
Yayat mengemukakan, drainase vertikal sebaiknya dibangun sebelum musim hujan. Tujuannya agar uji coba bisa dilakukan saat masuk awal musim hujan. Jika terbukti efektif, pengerjaan pembangunan secara massif baru dilakukan.
Selain itu, potensi pencemaran Tanah juga perlu diperhatikan. Jika air hujan langsung masuk ke tanah dengan kedalaman tertentu, bisa memengaruhi kandungan air tanah.
"Untuk itu, filter atau penyaring yang dibuat secara alami dibutuhkan agar air yang masuk di tanah tidak mencemari kandungan air tanah," kata Yayat.
Menurut Yayat, Pemerintah DKI Jakarta juga perlu mendorong upaya lain untuk mengendalikan banjir. Di wilayah Jakarta Utara misalnya, wilayah ini dinilai tidak mungkin dibangun drainase vertikal karena sifat tanahnya yang terlalu jenuh.
"Untuk itu, pembangunan waduk dan tanggul laut sangat dibutuhkan. Selain itu, ketersediaan pompa juga perlu ditambah," kata dia.
Baca juga: Kendalikan Banjir Jakarta, Pembangunan Dua Bendungan Dikebut
Yayat menambahkan, masalah banjir di Jakarta tidak hanya dari limpasan bagian hulu dan hujan lokal di perkotaan, tetapi juga dari pasang air laut atau rob. Untuk itu, upaya penangannnya perlu dilakukan bersamaan.
Hal itu mulai dari penyelesaian bendungan di hulu, normalisasi sungai, waduk dan embung, serta pembangunan tanggul laut. “Sementara, masalah pembebasan lahan saja masih bermasalah di Jakarta. Sebagian besar lahan di DKI pun sudah di beton. Air tanah jelas tidak terserap ke tanah,” ucapnya.
Sebagian besar lahan di DKI pun sudah di beton. Air tanah jelas tidak terserap ke tanah.
Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta mencatat, sekitar 90 persen permukaan tanah di wilayah DKI Jakarta tertutup beton. Di Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat, tanah yang sudah tertutup beton seluas sekitar 90 persen. Adapun di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, tanah yang tertutup beton seluas 89 persen.
Sekitar 90 persen permukaan tanah di wilayah DKI Jakarta tertutup beton.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendarwan mengatakan, pemerintah telah mengusulkan 146 titik untuk pembangunan drainase vertikal. Pembangunan itu dilakukan di empat wilayah kota di DKI Jakarta, kecuali Jakarta Utara karena tanah di Jakarta Utara dinilai terlalu jenuh.
“Kami sudah menyurvei 146 titik itu, terutama di tempat rawan genangan dan banjir. Tujuannya adalah mempercepat resapan air di titik itu. Saya harap 146 titik bisa cepat selesai, paling lambat Juni 2019 ini supaya bisa dibangun di titik lain lagi,” kata dia.
Drainase vertikal itu antara lain akan dibangun di Rumah Pompa Dewa Ruci (Jakarta Utara), Pompa Sunter Selatan (Jakarta Utara), Rumah Pompa Grogol (Jakarta Barat), Rumah Pompa Teluk Gong (Jakarta Barat), Manggarai (Jakarta Selatan), Atmajaya (Jakarta Pusat), dan Pintu Air Hek (Jakarta Timur).
Teguh mengakui, jalur-jalur air yang terkoneksi dengan saluran drainase di DKI sudah berubah peruntukan. Kapasitas panjang jalur air sudah tidak sesuai dan banyak saluran yang tertutup oleh bangunan.
Jalur-jalur air yang terkoneksi dengan saluran drainase di DKI sudah berubah peruntukan. Kapasitas panjang jalur air sudah tidak sesuai dan banyak saluran yang tertutup oleh bangunan.
Untuk itulah, drainase vertikal ini perlu dibangun agar jalan air yang terhambat bisa lebih lancar. Ketersediaan air tanah pun bisa lebih memadai.
“Dalam pelaksanaan pembangunan, kami melibatkan tenaga ahli yang kompeten. Untuk biaya pelaksanaannya sementara dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” kata Teguh. (TAN)