Pengembangan Geopark Karangsambung-Karangbolong Tidak Sekadar untuk Wisata
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
KEBUMEN, KOMPAS – Geopark atau Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah perlu dikembangkan bukan hanya untuk pariwisata. Pengembangan lebih komprehensif antara lain meliputi konservasi, edukasi ilmu kebumian, serta mitigasi bencana perlu lebih dikedepankan agar memberi manfaat positif bagi kelestarian alam serta kesejahteraan masyarakat.
“Di Karangsambung ada aneka ragam batuan-batuan tua. Batuan yang semestinya ada di dasar samudera kemudian terangkat. Di Karangbolong ada kawasan karst, itu sesuatu yang unik. Karena itu, kita satukan dua kawasan lindung ini menjadi geopark nasional. Tujuannya pertama kita ingin melindungi dan mengonservasi kawasan geosite itu. Kemudian yang kedua, kami menginginkan bahwa di tempat itu nantai akan berkembang ekonomi lokal. Itu tidak akan terwujud tanpa edukasi,” papar Peneliti Utama Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Chusni Ansori, Senin (21/1/2019) di sela-sela sarasehan Pengembangan Geopark Karangsambung-Karangbolong di Kebumen.
Kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong memiliki luas 543.599 kilometer persegi. Taman ini mencakup 117 desa dan 12 kecamatan di Kabupaten Kebumen. “Di Karangsambung sampai Karangbolong memiliki 6 periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu hingga sekarang,” katanya.
Chusni menyampaikan, wilayah taman bumi ini memiliki kerawanan bencana meliputi tsunami di bagian pantai selatan, banjir, gempa bumi, serta tanah longsor. Oleh karena itu, perlu pendidikan mitigasi bencana baik bagi generasi muda di sekolah maupun para warga di sekitar. “Potensi longsor terjadi karena kemiringan tebing yang cukup terjal dan juga kondisi batuan-batuan ini berada di atas tanah lempung sehingga cukup licin saat hujan,” ujarnya.
Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Edi Hidayat mengatakan, pada 1964 di Karangsambung itulah dibangun Kampus Lapangan Geologi di bawah LIPI. Sejak empat tahun terakhir, jumlah kunjungan ke tempat itu terus meningkat baik para mahasiswa, peneliti, maupun pelajar serta masyarakat umum. Per tahun rata-rata jumlah kunjungan berkisar 13.000 sampai 14.000 orang. “Karangsambung adalah tempat bertemunya lempeng Samudera Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Akibatnya batuan di Karangsambung beranekaragam dan bercampur aduk disebut Melange,” kata Edi.
Dalam sarasehan terungkap sejumlah ancaman taman bumi tersebut, yaitu penambangan pasir di Sungai Luk Ulo secara ilegal menggunakan mesin atau alat berat serta penambangan batu-batuan. Menanggapi hal itu, Kepala Bappeda (Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah) Kabupaten Kebumen Junaidi Faturochman mengatakan, pihaknya akan membahasnya bersama badan pengelola Geopark Karangsambung-Karangbolong.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Kebumen Azam Fatoni menyampaikan, saat ini badan pengelola geopark masih dalam proses pembentukan. Badan ini antara lain melibatkan unsur pemerintah daerah, LIPI, serta unsur masyarakat. “Badan pengelola nanti akan di-SK-kan (surat keputusan) dan setelah itu kami akan bekerja dengan badan pengelola. Kewenangannya nanti akan mengelola. Nanti ada batasan-batasan atau memberi masukan mana lokasi yang boleh ditambang atau tidak,” tuturnya.
Camat Sadang Wawan Sujaka yang wilayahnya masuk dalam areal kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong menyampaikan, potensi desanya cukup banyak tetapi belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan. “Sungai di sini bisa dimanfaatkan sebagai wisata tubing, areal track motor trail juga banyak serta menantang,” kata Wawan.