BEIJING, SENIN — Laju pertumbuhan ekonomi China tahun 2018 menyentuh titik nadir dalam tiga dekade terakhir. Kondisi itu ditengarai risiko peningkatan utang dan perluasan dampak perang dagang dengan Amerika Serikat.
Biro Statistik Nasional (NBS) China, Senin (21/1/2019), merilis, pertumbuhan ekonomi China tahun 2018 sebesar 6,6 persen lebih rendah daripada tahun 2017 sebesar 6,8 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun ini paling rendah sejak tahun 1990.
Adapun pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2018 yang sebesar 6,4 persen dinilai sebagai terendah sejak krisis keuangan global 10 tahun lalu.
”Semua orang khawatir tentang arah situasi internasional karena banyak variabel dan faktor yang tidak pasti. Proteksionisme perdagangan sedang populer,” ujar komisioner NBS, Ning Jizhe.
Ning berpendapat, gesekan ekonomi dan perdagangan antara China dan AS memang memengaruhi kinerja pertumbuhan, tetapi dampaknya masih bisa dikendalikan. Hubungan China dengan AS, mitra dagang utamanya, memburuk sejak tahun lalu pasca-Presiden Donald Trump meningkatkan bea masuk produk-produk impor China.
Perang dagang juga menyebabkan kepercayaan investor menurun. Pasar saham China babak belur dan nilai tukar yuan semakin lemah. Beberapa analis mengaitkan sebagian besar penurunan itu dengan kebijakan pemerintah untuk mengatasi peningkatan utang dan risiko keuangan. Kesepakatan perang dagang akan diketahui pasca-gencatan senjata berakhir pada awal Maret 2019.
Pasar saham China babak belur dan nilai tukar yuan semakin lemah.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi China diyakini berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global. Volume perdagangan China menyumbang satu pertiga perdagangan internasional. China juga menjadi negara ekonomi terbesar kedua setelah AS.
Bank Dunia mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3 persen menjadi 2,9 persen. Dalam laporan Prospek Ekonomi Global 2019 yang dirilis Bank Dunia, Rabu (9/1/2019), situasi ekonomi global ”semakin suram”.
Belumterburuk
Li Ting, ekonom China di Nomura, mengatakan, pertumbuhan ekonomi China yang lebih buruk mungkin terjadi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan kredit yang melambat setiap bulan selama setahun lalu. Pertumbuhan kredit yang melambat berdampak terhadap penurunan harga jual mobil yang sangat tajam (untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir).
Di sisi lain, pertumbuhan ritel tahun 2018 juga melambat menjadi 9 persen dari tahun 2017 sebesar 10,2 persen. Pengeluaran di pabrik dan bengkel-bengkel juga menurun dari 6,6 persen tahun 2017 menjadi 6,2 persen tahun 2018.
”Pertumbuhan akan tetap di bawah tekanan dalam beberapa bulan mendatang sehingga pembuat kebijakan disarankan untuk memilih menahan ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan,” kata Louis Kuijs dari Oxford Economics.
Tanda-tanda pelemahan pertumbuhan ekonomi China ini mulai teramati pasca-penurunan keuntungan Apple dan beberapa produsen mobil terkemuka. Oleh karena itu, Pemerintah China akan menerbitkan stimulus baru untuk mengantisipasi risiko kehilangan pekerjaan besar-besaran tahun 2019.
Namun, banyaknya stimulus yang diterbitkan pemerintah akan menggerakkan tingkat pertumbuhan utang. ”Pemerintah memiliki sarana untuk mendukung perekonomian. Mereka dapat memperluas belanja infrastruktur atau memotong rasio cadangan bank,” kata Kepala Peneliti Daiwa Institute of Research di Tokyo Naoto Saito.
Pemerintah akan mengungkap lebih banyak stimulus fiskal ini dalam pertemuan parlemen tahunan bulan Maret, termasuk pemotongan pajak yang lebih besar dan peningkatan belanja infrastruktur. China dinilai memiliki banyak ruang untuk penyesuaian kebijakan karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus melambat hingga musim panas. (REUTERS/AFP)