Satir Kencut dalam Boneka Bermata Kancing
I Putu Adi Suanjaya (25) lewat pameran lukisan-lukisan seni kontemporer di Kopikalyan, Jakarta, menghadirkan bahasa satir dari wujud boneka bermata kancing. Melalui media itu, dia menyampaikan pesan kemanusiaan yang menyiratkan pertemanan, permusuhan, kebencian, rasa suka, dan segala peran manusia.
Adegan dengan mereplika hidup dan roman aksi manusia melalui sosok boneka bermata kancing, karya perupa I Putu Adi Suanjaya atau akrab disapa Kencut, menjadi sebuah paradoks yang halus dan tajam sebagai penyampai pesan berseri tentang manusia.
Kurator pameran Ary Indra mengatakan, manusia yang tercemar saat mengarungi takdir hidup, sesungguhnya tetap adalah makhluk suci yang pernah lahir tanpa dosa. Karena mata sebagai jendela jiwa yang sebenar-benarnya, terkadang justru menjebak saat kehidupan menuntut peran manusia di dunia.
”Lukisan Kencut konsisten menghadirkan boneka dan kelompoknya, makhluk-makhluk bermata kancing yang menolak memandang rupa dunia, walaupun harus menjadi bagiannya,” tutur Ary, Jumat (18/1/2019).
Kencut memindahkan lakon kehidupan manusia yang penuh bahasa satir itu lewat pemeran tunggalnya yang berlangsung 18 Januari hingga 9 Februari 2019. Sebanyak 23 lukisan seni kontemporer dipamerkan mengisi dinding Kopikalyan.
Pameran bertajuk ”Kaum Mata Kancing” adalah refleksi Kancut dalam memandang kehidupan sosial. Lakon (manusia) yang mempunyai mata, tetapi seakan tidak difungsikan untuk memandang, membutakan diri sendiri.
Selain itu, karya-karya Kancut terinspirasi film animasi Coraline. Kancut lalu menciptakan obyek-obyek bermata kancing yang beberapa tahun ini terus ia eksplorasi.
Manusia cenderung berkeinginan untuk menutupi horor dan hal-hal getir yang melingkupi hidupnya dengan segala sesuatu yang terlihat manis.
”Saya selalu tertarik pada ciptaan yang plastis tetapi menyiratkan kehidupan. Hal ini saya temukan pada tokoh-tokoh dalam Coraline yang bermata kancing itu,” kata perupa lulusan Institut Seni Indonesian (ISI) 2017, Yogyakarta.
Film animasi bergenre horor itu, menurut Kencut, melecut kesadarannya atas fakta bahwa hipokrisi atau kepura-puraan begitu lazim terjadi dalam hidup manusia.
”Manusia cenderung berkeinginan untuk menutupi horor dan hal-hal getir yang melingkupi hidupnya dengan segala sesuatu yang terlihat manis,” tutur pria kelahiran Badung, Bali.
Boneka dalam lukisan Kencut adalah medium yang meminjamkan tubuh untuk lakon manusia. Memilih kancing sebagai mata adalah bahasa untuk menyembunyikan perasaan mereka yang sesungguhnya. Seperti paradoks bisu dalam ”Green Snake (2017)” dan ”Membebani (2015)”, perilaku palsu berbungkus keramahan jadi pola hidup yang dianggap biasa.
Paradoks bisu yang ingin dikatakan Kencut adalah manusia sejatinya lahir tanpa dosa. Namun, kancing menolak untuk melihat simbol pengunci jiwa.
Pengagum perupa Kaws dan Takeshi Murakami ini mengupas fenomena mata kancing sebagai simbol pengundian jiwa dari pengalaman hidupnya yang pernah dikhianati. Ia bercerita, ”Green Snake” adalah pengalaman ketika temannya sendiri ternyata pernah mengkhianatinya, teman yang berpura-pura. ”Teman makan teman,” katanya sambil tertawa kecil.
Dalam lukisan Kencut, bahasa simbol juga dimainkan untuk mengungkapkan sisi manusia yang baik sekaligus bisa menjadi jahat. Dalam karya ”Without the Rest (2018) dan ”Guardian of the Galaxy (2017)”, tokoh boneka bermutasi di luar sifat kemanusiaan, ada kebutuhan untuk ”menjadi”.
Lakon kaum mata kancing pada dua lukisan tersebut memilih untuk menjadi pelindung dan menjaga sekitarnya. Seperti manusia, tanpa segan mengambil jalan menghabisi dan membunuh demi mengamankan dunia.
Tumbuhnya peradaban, menurut Kencut, selalu punya sisi yang membahayakan. Seperti dunia saat ini, hidup yang tadinya sederhana dan indah terkadang perlu dikembalikan lagi dengan cara yang tidak pernah terbayangkan.
”Manusia bisa baik tetapi penuh emosi. Manusia bisa jahat tetapi memiliki rasa kasih,” kata pria yang masuk nominasi 20 finalis Redbase Young Artist Award melalui karya ”Yin Yang (2015)”.
Dalam dua lukisan tersebut, Kencut juga ingin menyampaikan, manusia selalu membawa cerita masa lalunya dalam memandang keseharian dan masa depan. Ada kesedihan yang tidak dapat dihindari. Namun, kesedihan (hidup) tetap harus dijalani dengan kekuatan atau kepura-puraan.
Karya milenial
Dalam berkesenian, Kencut mengeksplorasi karyanya tidak sebatas pada goresan warna diatas kanvas. Pada pameran ini, pengunjung bisa menyaksikan eksplorasi lukisan Kencut berbasis digital dengan teknologi augmented reality. Ide tersebut tertuang dari hasil diskusi dirinya dengan sang kurator, Ary.
”Kami ingin memberikan khazanah baru pada generasi milenial untuk dapat menikmati lukisan dengan fitur augmented reality yang dapat menggabungkan screen culture dan kanvas culture yang mulai banyak ditinggalkan,” tutur Ary.
Mendekatkan rasa, cipta, dan karsa di tengah pengalaman dunia yang kehilangan rasa kemanusiaan. Ketika orang melihat karya saya, orang bisa becermin dari kehidupan.
Ada delapan lukisan berkode barcode, melalui augmented reality, pengunjung bisa merasakan pengalaman unik melihat lukisan Kencut bergerak dari gadget mereka.
Pengalaman yang dirasakan oleh pengunjung ingin dihadirkan Kencut dan Ary agar generasi bisa semakin dekat dengan dunia seni rupa dan dapat menikmati kesederhanaan dari sebuah pameran.
”Saya bagian dari generasi milenial. Saya berharap melalui pameran ini seni rupa bisa dinikmati dan dekat dengan generasi muda. Mendekatkan rasa, cipta, dan karsa di tengah pengalaman dunia yang seperti kehilangan rasa kemanusiaan. Ketika orang melihat karya saya, orang bisa becermin dari kehidupan,” ujar Kencut.
Sementara itu, bagi Ari, menelusuri karya Kencut seperti memandang cermin berwarna, melihat hidup dengan cara berbeda.
”Memang penuh tragedi, tetapi dengan imajinasi kita bisa menyeret kesedihan ke dalam tawa. Dan saya pun ingin membagi imajinasi saya dengan membuat lukisan Kencut bisa bergerak sesuai dengan apa yang ada di benak saya,” tutur Ary.
Ia melanjutkan, lukisan Kencut dan kaum mata kancingnya adalah pengingat untuk selalu bisa melayari hidup dengan gembira. Berjalan bagai kanak-kanak yang lahir tanpa dosa. (AGUIDO ADRI)