JAKARTA, KOMPAS - Sistem pajak di Indonesia belum berkeadilan karena kebijakan dan administrasi yang ada belum mampu menjangkau potensi pajak secara optimal pada kelompok terkaya. Hal itu terlihat pada setoran Pajak Penghasilan (PPh) pengusaha jauh lebih kecil ketimbang PPh karyawan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikutip Kompas, Senin (21/1/2019), realisasi penerimaan PPh nonkaryawan, termasuk pengusaha, pada 2018 sebesar Rp 9,41 triliun. Penerimaan PPh itu tumbuh melambat dibandingkan 2017 menjadi 20,53 persen. Realisasi PPh nonkaryawan, termasuk pengusaha itu, jauh sekali di bawah PPh karyawan Rp 134,96 triliun dan PPh badan Rp 255,37 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, struktur pajak di Indonesia belum pro keadilan. Pajak sebagai instrumen fiskal juga belum optimal mengurangi ketimpangan pendapatan.
Salah satu penyebabnya karena banyak kelompok terkaya berlindung dalam status sebagai karyawan di perusahannya sehingga penerimaan yang masuk berupa PPh karyawan. “Sebenarnya hal itu sah saja, tetapi tetap perlu diawasi jangan sampai ambil deviden terselubung,” ujar Yustinus.
Salah satu penyebabnya karena banyak kelompok terkaya berlindung dalam status sebagai karyawan di perusahannya sehingga penerimaan yang masuk berupa PPh karyawan.
Mengutip laporan statistik penerimaan 2018 yang dirilis Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), penyumbang terbesar dalam struktur penerimaan pajak di negara-negara anggota OEDC adalah PPh individu kemudian PPN dan PPh korporasi. Struktur penerimaan itu dinilai paling ideal.
Di Indonesia, strukturnya terbalik karena penerimaan dari PPh individu paling rendah. Itu pun sumbangan terbesarnya dari PPh karyawan, sementara PPh nonkaryawan kurang dari Rp 10 triliun. “Pajak kita memang belum cukup progresif, sejak 2008 aturan Undang-undang masih sama, sehingga kelompok menengah yang menanggung beban pajak terbesar,” kata Yustinus.
Pajak kita memang belum cukup progresif, sejak 2008 aturan Undang-undang masih sama, sehingga kelompok menengah yang menanggung beban pajak terbesar.
Potensi pajak pada kelompok terkaya seharusnya bisa lebih optimal. Dari Global Wealth Databook Credit Suisse 2017, porsi kekayaan yang dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya mencapai 45,4 persen pada 2017. Kepatuhan pajak bisa meningkat jika program pertukaran data otomatis (AEoI) dan keterbukaan informasi keuangan yang digagas Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun lalu terimplementasi optimal.
Yustinus menambahkan, peningkatan kepatuhan mesti dibarengi reformasi pemeriksaan pajak. Sebelum 2007, pendekatan yang digunakan adalah jenis pajak sehingga satu wajib pajak bisa diawasi empat petugas. Saat ini pemeriksaan pajak berdasarkan fungsi sehingga satu petugas justru mengawasi banyak wajib pajak. Skema pemeriksaan itu seharusnya didukung sistem teknologi yang kuat.
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, mengatakan, pajak secara teori bertujuan memperkecil ketimpangan. Pendapatan dari orang terkaya digunakan untuk membangun infrastruktur lebih banyak dan memfasilitasi kelompok miskin. Saat ini, harus diakui, masih tercipta jurang yang disebabkan rendahnya rasio pajak.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang dari tahun ke tahun. Namun, sejak 2007 hingga saat ini, laju pengurangan jumlah penduduk miskin melambat, sementara ketimpangan pendapatan melebar selama satu dekade terakhir.
Saratpolitik
Prasetyantoko mengatakan, peningkatan kepatuhan pada kelompok terkaya bisa memanfaatkan data pengampunan pajak (tax amnesty). Namun, butuh keberanian pemerintah untuk menggarap potensi pajak kelompok terkaya ini karena sarat politik. Tren di beberapa negara kini mengarah ke sistem perpajakan populisme sehingga banyak orang kaya dibidik persoalan pajak.
Butuh keberanian pemerintah untuk menggarap potensi pajak kelompok terkaya ini karena sarat politik. Tren di beberapa negara kini mengarah ke sistem perpajakan populisme sehingga banyak orang kaya dibidik persoalan pajak.
“Disiplin aparat pajak menjadi kunci jangan sampai ada kelemahan di situ. Secara langsung atau tidak, momen pemilu akan memengaruhi kebijakan ini,” katanya.
Pemerintah menetapkan target pendapatan Rp 2.165,1 triliun di APBN 2019, yang terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.786,4 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 378,3 triliun, dan hibah sekitar Rp 400 miliar.
Sebelumnya, menanggapi strategi penerimaan 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, realisasi penerimaan perpajakan pada 2018 masih kurang atau shortfall, sehingga untuk mencapai target tahun ini dibutuhkan pertumbuhan penerimaan perpajakan 20 persen. Pada 2018, pertumbuhan total penerimaan negara sebesar 16 persen, dengan PPh tumbuh 15 persen dan PPN mendekati 12 persen.
Strategi pengumpulan pajak menitikberatkan pada optimalisasi tata kelola dan data wajib pajak serta berkoordinasi dengan dunia usaha bahwa penarikan pajak akan dibarengi dengan pemberian insentif sehingga ruang peningkatan usaha masih ada. Pemerintah berkomitmen mengumpulkan pajak secara hati-hati dan tidak mengganggu pertumbuhan dalam negeri.
”Dalam pengumpulan penerimaan pajak, kita tidak ingin membuat suasana ekonomi mengalami tekanan,” ujar Sri Mulyani.