Terjebak Benang Kusut Logistik
Masuk kena, keluar kena. Sama-sama kena macet. Di dalam pelabuhan, macet karena bongkar muat lama. Di luar pelabuhan juga macet karena kepadatan arus lalu lintas. Begitu kesan sejumlah sopir truk, para pencari penghidupan, di tengah-tengah benang kusut logistik nasional.
Rusdi (29), bernafas lega. Sekitar pukul 12.00 WIB, dia sudah berada terminal bongkar muat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sopir truk asal Marunda, Jakarta Utara, itu berulang kali menyeka keringat setelah “terpanggang” di dalam kabin truk. Sekitar setengah jam Rusdi terjebak kemacetan akibat penumpukan truk menuju terminal bongkar muat Pelabuhan Tanjung Priok.
Untung saja bongkar muat kali ini cukup efisien, yakni sekitar 30 menit. Rusdi tinggal menghadapi kemacetan ketika keluar dari pelabuhan menuju kawasan industri di Karawang, Jawa Barat. Dia harus berpacu dengan waktu agar tidak terlambat masuk kawasan industri itu.
“Pabrik di kawasan industri tutup pukul 17.00 WIB. Jika terlambat, saya harus menginap semalam untuk menunggu bongkar muat esok pagi,” kata Rusdi, Kamis pekan lalu.
Pabrik di Kawasan Industri Karawang tutup pukul 17.00 WIB. Jika terlambat, saya harus menginap semalam untuk menunggu bongkar muat esok pagi.
Jika terjadi kerusakan sistem dan alat bongkar muat, Rusdi dan sopir-sopir truk yang lain bisa menunggu beberapa jam di pelabuhan. Hal itu terjadi juga saat peti kemas yang dibongkar tak sebanding dengan jumlah alat bongkar muat.
Jamin (27), sopir truk asal Bogor, tak seberuntung Rusdi. Dia menunggu sekitar dua jam di pelabuhan, karena alat bongkar muat sedang bermasalah. Menurut dia, proses bongkar muat sebenarnya hanya sekitar 30 menit-60 menit. Hal yang kadang membuat terlambat biasanya karena keterbatasan jumlah alat berat saat bongkar muat barang.
“Dari segi pengambilan peti kemas sebenarnya sudah sangat terbantu dengan sistem digital. Namun, keterlambatan biasanya disebabkan proses bongkar muat yang belum rampung,” kata Jamin yang telah menjadi sopir truk sejak 2016.
Tepat pukul 12.30 WIB, Rusdi meninggalkan Tanjung Priok. Truk berstiker “Komunitas Marunda” yang dikendarainya berjalan lambat memasuki Gerbang Tol Kebon Bawang menuju Gerbang Tol Tanjung Priok. Keberadaan Tol Kebon Bawang cukup membantu mengalihkan kepadatan, kendati tetap terjadi penumpukan kendaraan di gerbang berikutnya.
Memasuki Tol Tanjung Priok, lalu lintas sempat terhambat lebih kurang 20 menit, karena ada dua truk yang mogok di tol. Jalan tol bagian dari Trans-Jawa itu kemudian sempat lancar, sampai akhirnya memasuki kawasan Tol Cikampek. Penumpukan kendaraan terjadi di beberapa titik, seperti di Kilometer (KM) 5, 14, dan 16. Panjang antrean kendaraan sekitar 9 kilometer.
Rusdi kembali menyeka keringatnya beberapa kali di tengah-tengah kemacetan yang berlangsung sekitar jam itu. Maklum, kebanyakan truk pengangkut logistik tak berpendingan. Bahkan, dasbor truknya sudah jebol. Rusdi membiarkan kaca jendala truk terbuka separuh.
“Menuju simpang Cikunir hingga ke Cikampek biasanya memang macet begini. Setiap hari selalu begitu,” kata Rusdi.
Kemacetan tersebut sebagian besar dipengaruhi pengerjaan proyek Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek. Selain itu, lajur 1 dan 2 jalan tol juga tidak cukup rata dibanding lajur 3 dan 4 untuk mendahului. Kondisi seperti itu hampir di sepanjang jalur, sehingga kerap kali truk dan bus berpindah jalur menghindari jalan yang tak rata.
Dengan sejumlah hambatan tersebut, Rusdi cukup beruntung pada hari itu. Dia sampai di Kawasan Industri Karawang sekitar pukul 16.00 WIB. Di hari-hari selanjutnya, Rusdi masih menghadapi tantangan yang lebih kurang serupa. Berpacu dengan waktu terlepas dari jebakan macet.
Berbeda dengan Rusdi, Jajat (43), sopir truk peti kemas, kerap kali memilih jalur pantai utara menuju Kawasan Industri Karawang. Sebab, kemacetan parah kerap terjadi di jalan Tol Cikunir menuju Cikampek.
“Penumpukan kendaraan di sana bisa menghambat kendaraan hingga 5-6 jam. Saya sudah lama tidak lewat jalur tol. Justru kalau lewat jalan pantura sampainya bisa hanya sekitar 3 jam,” kata Jajat.
Jajat yang sudah 25 tahun menjadi sopir truk itu mengaku, hambatan itu menyebabkan biaya pembelian bahan bakar solar membengkak. Pada 2016 biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 200.000 untuk pergi-pulang. Kini rata-rata bisa Rp 350.000 untuk rute yang sama.
Pembenahan
Selain macet, para sopir mengeluhkan pungutan liar baik di pelabuhan maupun luar pelabuhan. Asdi (30) menuturkan, setiap kali keluar dari Tol Jatinegara menuju Pasar Beras Induk Cipinang, Jakarta Timur, selalu ada sepeda motor yang mengawal truk.
“Sesampainya di Pasar Induk, tiba-tiba saya dimintai uang Rp 40.000. Untuk keamanan katanya,” tutur Asdi.
Baca juga: Efisiensi Tidak Dirasakan Sopir Truk
Tidak hanya itu, Asdi juga dipungut di kompleks Pelabuhan Tanjung Priok. Pungutan itu mulai dari pintu masuk, survei kendaraan masuk, hingga di pintu keluar. Masing-masing dikenakan Rp 2.000. Saat bongkar muat pun, para sopir dimintai biaya Rp 20.000.
Pemerintah menyiapkan lima kebijakan utama untuk meningkatkan daya saing ekspor dalam jangka pendek. Tahun ini, kebijakan difokuskan pada penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan pemilihan komoditas unggulan.
Kebijakan peningkatan daya saing ekspor itu terdiri dari perbaikan iklim usaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor, dan pemilihan komoditas unggulan. Tiga kebijakan awal sudah terimplementasi sejak 2018.
Baca juga: Lima Kebijakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekspor
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, permasalahan krusial yang harus dibenahi adalah logistik. Infrastruktur fisik yang sudah dibangun dalam empat tahun terakhir akan dikombinasikan dengan sistem digital. Tujuannya, mengurangi biaya ekspor yang selama ini membebani pelaku usaha.
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, reformasi logistik mulai digarap Bea dan Cukai dengan meluncurkan sistem manifes generasi III. Seluruh proses pengajuan dan perubahan manifes kini berbasis elektronik sehingga dapat menurunkan waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) dan biaya logistik.
Rusdi dan sopir-sopir truk mungkin kurang paham dengan upaya dan kebijakan pemerintah tersebut. Bagi mereka, terbebas dari pungutan liar dan merasakan cukup kelonggaran dari kemacetan adalah sebuah perubahan. Perubahan konkret dari jerat benang kusut logistik nasional.
Dari hasil uji coba Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, waktu bongkar muat barang pada proses pre-clearance atau waktu penyimpanan dan penyiapan dokumen peti kemas berkurang 0,81 hari dari 2-3 hari. Dengan demikian, biaya logistik bisa lebih ditekan.
Proses pengubahan dokumen juga lebih cepat, dari 5-6 jam secara manual menjadi 15 menit secara daring. Selain itu, proses perincian pos yang selama ini mencapai 11.500 proses per bulan juga bisa dihilangkan.
Rusdi dan sopir-sopir truk mungkin kurang paham dengan upaya dan kebijakan pemerintah tersebut. Bagi mereka, terbebas dari pungutan liar dan merasakan cukup kelonggaran dari kemacetan adalah sebuah perubahan. Perubahan konkret dari jerat benang kusut logistik nasional. (ADITYA DIVERANTA).