Transjakarta, Perubahan Budaya Bertransportasi Menuju Kota Cerdas
Transjakarta dinilai telah menciptakan reformasi budaya bertransportasi Jakarta secara mendasar. Contoh dari Transjakarta pun menjadi inspirasi bagi kota-kota lain untuk mewujudkan transportasi massal kendati saat ini masih banyak tantangan.
Perubahan persepsi ini terjadi dari tiga sisi, baik dari warga, operator angkutan umum, maupun pemerintah. Dari sisi pemerintah, pemerintah daerah menjadi terlibat sepenuhnya dalam menyediakan layanan transportasi umum. Hal ini berdampak pada tarif transportasi umum yang terjangkau warga dengan adanya subsidi namun dengan kualitas yang nyaman dan aman.
Wakil Direktur The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, sejak beroperasinya Transjakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengatur standar pelayanan minimum transportasi umum massal ini melalui seperangkat peraturan yang dibuat. ”Budaya transportasi baru pun terbentuk dari segala sisi,” katanya di kantor ITDP di Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Salah satu aspek paling penting dari Transjakarta ini adalah meningkatkan kemanan publik dalam bertransportasi. Sebelumnya, banyak tindak kriminal bahkan yang berujung pada pemerkosaan dan pembunuhan terjadi di transportasi umum yang belum diselenggarakan oleh pemerintah.
Dari sisi operator, perilaku juga berubah. Tidak adanya sistem setoran dan persaingan tak sehat antaroperator bisa ditiadakan. Contoh paling mudah dari sistem setoran dan persaingan tak sehat adalah ngetem dan mengendara ugal-ugalan di jalan demi berebut penumpang. Operator juga harus patuh pada standar pelayanan minimal (SPM) yang menjamin pelayanan dan kualitas transportasi umum.
Dari sisi penumpang pun terjadi budaya baru yang mengubah pola pikir bahwa transportasi massal nyaman dan aman serta perilaku yang tertib dalam bertransportasi. ”Perubahan pola pikir terpenting adalah warga yang semakin banyak beralih ke transportasi massal. Warga yang lebih tertib dengan munculnya budaya antre dan ada jadwal serta tempat tertentu untuk naik dan turun,” kata Faela.
Reformasi meluas
Transport Associate ITDP Gandrie Ramadhan mengatakan, Transjakarta mempunyai efek meluas (multiplier effect) untuk melakukan reformasi transportasi massal. Setelah Transjakarta, ada Pemerintah Kota Yogyakarta yang mulai mengambil alih pengelolaan transportasi umum. Kota-kota lain pun mengikuti, seperti Solo, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar.
”Inspirasi dan semangat bahwa pemerintah sudah harus meregulasi transportasi umum sudah ditangkap pemerintah-pemerintah di banyak daerah,” katanya.
Namun, kata Gandrie, sejauh ini, baru Transjakarta yang baru bisa disebut bus rapid transport (BRT) berdasarkan standar ITDP. Syarat bisa disebut sebagai BRT ini di antaranya ada jalur khusus dan komperehensif, offboard ticketing atau pembelian tiket di halte, bus kapasitas besar, dan prioritas simpang lalu lintas untuk bus.
Menurut Faela, kekurangan pemda di luar DKI Jakarta karena banyak pemda yang belum melakukan reformasi pada operator angkutan umum dan institusi transportasi.
”Di daerah-daerah, pemda belum merangkul operator-operator lain. Ini memang tugas paling berat karena pengusaha-pengusaha angkutan eksisting ini harus kompatibel, kualitas pelayanannya harus sesuai dulu, dan pemerintah juga harus mengakomodasi kepentingan mereka,” katanya.
Di Jakarta, pada awal pengoperasian Transjakarta, Pemprov DKI Jakarta merangkul 9 operator bus eksisting yang bergabung dan mendukung operasional Transjakarta.
Dari sembilan operator tersebut, ada beberapa konsorsium operator yang dulunya merupakan gabungan dari operator eksisting.
Jalur pertama yang dipilih untuk bergabung dengan Transjakarta adalah jalur paling ramai digunakan warga, yaitu Koridor 1. Sampai saat ini, proses ini masih berjalan. Setelah bus-bus besar dan sedang berhasil diajak bergabung, saat ini Pemprov DKI Jakarta tengah menyelesaikan integrasi bus kecil (angkot) dalam program yang sekarang disebut Jak Lingko. Dari 11 operator angkot yang ada, proses integrasi ini ditargetkan selesai dalam tiga tahun atau pada 2020.
Di banyak daerah lain, pemda justru menghindari jalur gemuk atau jalur yang paling banyak bus dan angkot beroperasi demi menghindari benturan dengan pengusaha angkutan umum yang sudah ada. Akibatnya, reformasi pun tak efektif karena tidak mengangkut banyak penumpang. ”Merangkul operator eksisting ini memang tugas awal yang paling sulit,” kata Faela.
Gandrie mengatakan, pemerintah pusat selama ini juga belum memberi panduan pada daerah untuk mewujudkan pengelolaan transportasi massal. Pemerintaah baru sekedar memberi bantuan bus untuk menginisiasi tetapi tanpa ada panduan pelaksanaan dan sistem bisnisnya ataupun bantuan infrastruktur.
Akibatnya, daerah memperoleh bus tetapi tidak paham apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan reformasi transportasi umum massal. Kondisi ini membuat banyak bantuan bus yang akhirnya tak berkembang.
Tantangan
Kendati sudah cukup berhasil, Transjakarta masih menghadapi tantangan berat. Tiga tantangan itu di antaranya sterilisasi jalur yang belum pernah berhasil diwujudkan, aksesibilitas, dan integrasi dengan moda-moda transportasi umum lain. Integrasi yang dimaksud mulai dari transportasi umum berbasis jalan hingga berbasis rel yang akan segera beroperasi di Jakarta, yaitu MRT dan LRT.
Gandrie mengatakan, sterilisasi jalur sempat digalakkan tetapi tak ada komitmen untuk mempertahankan ketegasan. Jalur steril ini membutuhkan komitmen antara pemda dan kepolisian untuk menegakkan peraturan. Solusi lain adalah dengan frekuensi bus (headway) yang tinggi dan padat. Dengan kepadatan jalur atau semakin banyak bus yang lewat di jalur khusus itu, semakin orang enggan masuk dalam jalur khusus Transjakarta.
Untuk aksesibilitas, masih banyak titik yang akses yang kurang nyaman bagi pejalan kaki dan tak mendukung kaum penyandang disabilitas. Dua kekurangan dalam hal akses ini adalah akses menuju ke halte yang belum memenuhi kenyamanan pejalan kaki dan kaum penyandang disabilitas.
Jembatan penyeberangan orang di Sudirman-Thamrin, kata Gandrie, meskipun ada ramp tetapi tak sesuai standar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kemiringan yang disyaratkan 8 derajat, tetapi kemiringan itu mencapai sampai 45 derajat sehingga tak mendukung pengguna kursi roda secara mandiri.
Untuk itu, pada 2018, Pemprov DKI Jakarta membangun pelican crossing sehingga calon penumpang Transjakarta tak perlu menggunakan JPO untuk mencapai halte. Realisasi pelican crossing sangat diapresiasi.
Selain itu, juga perlu ada peningkatan kualitas trotoar di sekeliling koridor utama, bukan hanya di jalur utama saja. Sebab, sebagian besar tujuan akhir pengguna Transjakarta bukan di koridor utama, tetapi harus dicapai dengan berjalan kaki lagi.
Untuk integrasi, kata Gandrie, tahun 2019 harus menjadi tahun integrasi bagi Transjakarta. Sebab, saat ini ada MRT dan LRT yang mulai beroperasi. Secara fisik, dari 16 stasiun MRT, saat ini baru ada 1 titik yang terintegrasi antara MRT dan Transjakarta, yaitu di Bundaran Hotel Indonesia.
”Ada tiga integrasi yang diperlukan, yaitu fisik, operasional dan ticketing. Saat ini di Bundaran HI baru ada titik integrasi fisik. Tetapi untuk operasional dan ticketing juga sangat penting sehingga tiga moda ini juga seharusnya satu institusi pengelola,” katanya.
ITDP sudah memetakan 53 titik potensial untuk integrasi Transjakarta dengan moda transportasi massal lainnya. Kajian ini sudah diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta.
Transportasi kota cerdas
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, rata-rata kota-kota di Indonesia belum bisa mewujudkan konsep kota cerdas atau smart city. DKI Jakarta merupakan kota yang paling mendekati dengan beroperasinya transportasi massal umum yang dikelola pemerintah.
Konsep smart city dari sisi transportasi ini adalah kota yang sudah memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda, menyediakan angkutan umum massal, hingga integrasi angkutan umum massal.
Menurut Deddy, sebuah kota yang sistem transportasi sudah mencerminkan konsep cerdas ini adalah warga tidak lagi berpikir menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Kendala utama adalah sebagian besar kota di Indonesia, desain sistem transportasinya memang belum mengutamakan angkutan umum massal.
Hal ini tidak saja menyediakan angkutan umum massal, tetapi juga infrastruktur secara rinci untuk integrasi, hingga pada cekungan di jalan untuk perpindahan moda hingga pada atap di jalur pejalan kaki atau akses yang memudahkan pejalan kaki untuk menghubungkan perpindahan antarmoda transportasi.
Kendala besar lainnya adalah belum adanya sistem makro untuk transportasi modern. Sistem yang dimaksud dimulai dari kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah yang diwujudkan dengan rancangan pembangunan jangka menengah hingga regulasi yang mendukung.