Ciayumajakuning Terlilit Ego Daerah
Dalam lima tahun ke depan, wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau Ciayumajakuning diprediksi jadi motor penggerak perekonomian Jawa Barat, khususnya dari sektor pariwisata. Sayangnya, belum ada sinergi pemerintah daerah.
Saat menggelar rapat bersama kepala daerah Ciayumajakuning, Rabu (9/1/2019), Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan masa depan Jabar ada di segitiga emas, yakni Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati di Majalengka, Pelabuhan Patimban di Subang, dan Ciayumajakuning.
Ciayumajakuning memang potensial berkembang pesat karena memiliki ”kemewahan” infrastruktur, yakni BIJB Kertajati yang bakal menjadi bandara terluas setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yakni 1.800 hektar. Bandara ini akan dilengkapi kawasan ”kota bandara” atau aerocity seluas 3.000 hektar.
Belum genap setahun beroperasi, bandara itu telah melayani 10 rute penerbangan, termasuk umrah. Bahkan, tahun ini, Pemprov Jabar berkomitmen menjadikan BIJB Kertajati sebagai embarkasi haji. Tahun depan, Pelabuhan Patimban yang disebut-sebut setara dengan Pelabuhan Tanjung Priok juga akan rampung dan terhubung dengan BIJB Kertajati.
Sebelumnya, pada 2015, Jalan Tol Cikopo-Palimanan yang mempercepat waktu tempuh Jakarta-Cirebon telah beroperasi. Begitu pula dengan rel ganda kereta api.
Dengan dukungan kemajuan infrastruktur itu, Ciayumajakuning diprediksi bakal dibanjiri wisatawan. Apalagi, tahun ini saja, Pemprov Jabar mengucurkan hampir setengah triliun rupiah untuk pengembangan pariwisata di 40 titik se-Jabar, termasuk Ciayumajakuning.
”Lima tahun ke depan, penggerak ekonomi di Jabar itu pariwisata. Kenapa? Karena Jabar itu indah. Hanya saja akses yang kurang atau daerahnya belum dikenal,” kata Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil.
Setelah rapat, mantan wali kota Bandung itu memaparkan rencana aksinya terkait promosi wisata Ciayumajakuning. ”Dalam satu bulan, saya mau buat video promosi Curug Cipeuteuy (Majalengka), Kebun Raya Kuningan, wisata sejarah Sunan Gunung Jati, dan keraton di Cirebon. Saya juga mencari artis yang bisa mempromosikan destinasi wisata itu,” katanya.
Sehari sebelumnya, Selasa, Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis menggelar rapat tertutup bersama DPRD terkait realisasi visi dan misinya. Rapat itu antara lain membahas rencana Pemkot Cirebon mendatangkan 2 juta wisatawan.
Pada 2017, sekitar 1 juta wisatawan berkunjung ke ”Kota Udang”. Sejauh ini, Pemkot memang belum memiliki agenda wisata untuk satu tahun.
”Kami baru akan membuatnya. Bentuknya bisa festival yang menampilkan kekayaan sejarah dan budaya Cirebon. Kami juga punya program Cirebon Bersih, Cirebon Tertib, dan Cirebon Hijau,” ujar Azis.
Perlu keseriusan
Agenda wisata memang diperlukan untuk menarik wisatawan datang ke Cirebon. Namun, yang tak kalah penting, penanganan persoalan sampah yang selama ini dikeluhkan wisatawan saat pelesiran ke Cirebon dan penataan kota.
Keberadaan pasar di depan Keraton Kanoman yang belum tertata dan jalanannya yang becek saat hujan menjadi salah satu pekerjaan rumah Pemkot Cirebon. Selain memiliki potensi wisata sejarah, keraton memiliki tradisi Maulid yang dihadiri ribuan pengunjung.
Perlu lebih serius untuk mengembangkan pariwisata di Kota Cirebon. Apalagi akomodasi dan akses sudah tersedia di ”Kota Wali”. Terdapat lebih dari 100 hotel dan ratusan restoran atau warung di sana.
Tidak jauh beda dengan tetangga, pariwisata Kabupaten Cirebon juga dirundung masalah. Situs bersejarah makam Sunan Gunung Jati, misalnya, belum tertata, disesaki pengemis, dan kumuh.
Pada 2015-2017, Pemkab menggelar Caruban Carnival, pameran dan karnaval berbentuk pawai yang mengangkat kekayaan seni budaya Cirebon. Namun, ajang itu tahun lalu terputus karena tidak dianggarkan.
Padahal, ribuan orang memadati acara itu. Sejumlah potensi wisata budaya, seperti pesta laut atau nadran juga belum tergarap. Padahal, hampir setiap desa di pesisir Cirebon punya tradisi nadran. Salah satu yang terbesar dengan ribuan pengunjung adalah nadran di Kecamatan Gunung Jati. Acara selama sepekan itu bisa menghabiskan biaya Rp 1 miliar.
”Sebagian besar dana berasal dari urunan warga. Kemarin, dapat bantuan pemerintah Rp 26 juta. Pemkab seharusnya juga membantu dalam hal promosi,” ujar Nasirudin, penasihat panitia nadran.
Belum tergarapnya potensi wisata itu, menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Cirebon Imam Reza Hakiki, mengancam Cirebon hanya sebagai kota lewat, bukan tujuan.
Dengan tersambungnya Tol Trans-Jawa, pengunjung hanya singgah di Cirebon untuk mencicipi kuliner empal gentong atau nasi jamblang. Tak ada alasan untuk mereka tinggal lebih lama. ”Sekarang, cari 50 persen tamu hotel saja susah,” ucapnya.
Berbeda dengan Cirebon, Kuningan kini menjadi ”pelarian” wisatawan asal Jakarta dan sekitarnya, serta dari Bandung. Saat akhir pekan, jalur Gronggong-Kuningan dipadati mobil dan bus berpelat B dan D. Tujuannya mulai dari kolam ikan dewa di pinggir jalan raya hingga pelosok Desa Cisantana. Tahun lalu, 2 juta orang berwisata ke Kuningan.
Festival Linggarjati yang dirangkaikan dengan tur sepeda dan festival angklung juga rutin digelar. Namun, belum semua potensi wisata tersentuh. Tradisi seren taun di Cigugur, wujud syukur masyarakat agraris yang juga memupuk
nilai keberagaman, misalnya, belum direkayasa dan dipromosikan untuk menarik wisatawan.
Di sisi lain, keindahan Ciremai, gunung tertinggi di Jabar dengan tinggi 3.078 meter di atas permukaan laut, masih menjadi polemik antara pemerintah setempat dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai pengelola. Padahal, jika kedua pihak bekerja sama, pariwisata Kuningan pasti berkembang pesat.
Pengembangan pariwisata di Indramayu tak kalah sulitnya. Ketika Tol Cipali beroperasi, rumah makan hingga hotel di jalur pantura Indramayu paling terdampak, bahkan tutup.
Pintu keluar tol di Indramayu, jaraknya lebih dari 1 jam menuju pusat kota. Secara akses, kabupaten dengan luas sawah lebih dari 114.000 hektar ini tidak selancar tetangganya, Cirebon.
Sejak 2016, Pemkab Indramayu berupaya menggarap pariwisata melalui Festival Tjimanoek, ajang unjuk seni budaya lokal seperti ngarot. Namun, butuh promosi mengingat pengunjung masih didominasi wisatawan lokal.
Komoditas unggulan mangga gedong gincu juga belum dioptimalkan sebagai daya tarik wisata Indramayu. Padahal, ini bisa membantu petani ketika harga komoditas itu anjlok.
Nasib Majalengka hampir serupa dengan Indramayu, dengan kunjungan wisatawan di bawah 500.000 orang per tahun. Padahal, Majalengka yang dikenal dengan kota 1.000 curug (air terjun) dan punya 99 obyek wisata alam. Namun, kontribusi sektor pariwisata untuk pendapatan asli daerah hanya 4,1 persen (2016).
Sinergi pemda
Berbagai kondisi itu menunjukkan adanya persoalan dalam pengembangan pariwisata di Ciayumajakuning. Sebagai informasi, tahun 2016, kontribusi Ciayumajakuning untuk kunjungan wisatawan hanya 5,47 persen dari total 63 juta wisatawan di Jabar.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon sejak 2015 menyediakan forum bagi pemda di Ciayumajakuning untuk mengembangkan pariwisata. Namun, hingga kini, pemda masih jalan sendiri-sendiri.
Paket wisata Ciayumajakuning, misalnya, belum disediakan pemda. Alih-alih kerja sama dan bersinergi, pemda malah berebut menjadi tempat asrama haji untuk embarkasi haji di BIJB Kertajati.
”Jika (pemda) kompak, saya yakin bandara dan Ciayumajakuning ramai enam bulan ini. Tugas saya sebagai pemimpin daerah, (menjaga agar) tidak ada ego sektoral daerah. Saya akan kawal. Jangan sampai juga penataannya berantakan,” ujar Ridwan Kamil.