Maria Clara Wresti/HELENA F NABABAN/IRENE SARWINDANINGRUM/ADITYA PUTRA PERDANA/NINO CITRA Anugrahanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meskipun di beberapa daerah ada perkembangan positif yang signifikan, upaya pembangunan angkutan umum massa berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT) di sedikitnya 33 kota di Indonesia dinilai belum berhasil baik.
Penyebabnya, antara lain diungkap oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, Senin (21/1/2019). Budi mengatakan Rencana Strategis (Renstra) Kemenhub 2014-2019 tidak tercapai targetnya karena terjadi dua kali pengurangan akibat kurangnya dana APBN.
"Pada renstra 2019-2024 akan tetap dilakukan pengadaan bus untuk BRT di daerah. Karena Indonesia ingin memperbesar layanan BRT. Selain mengurangi kemacetan, juga mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Budi.
Untuk mengetahui pasti efektivitas dan kekurangan dari program bantuan bus BRT dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, Kemenhub akan membuat evaluasi. Evaluasi akan dilakukan konsultan independen dan pendamping program BRT dari Swiss.
Evaluasi akan dilakukan untuk melihat tingkat efektivitas efisiensi, operator, pemanfaatannya, anggaran, dan komitmen dari pemda dan legislatifnya. "Konsultan yang akan melakukan evaluasi karena Kemenhub tidak mempunyai kompetensi dan waktu untuk melakukannya," tambah Budi.
Dikelola swasta
Menerima bus hibah dari Kemenhub memang tidak serta merta dapat menggerakkan perubahan sistem layanan angkutan umum perkotaan. Menyelenggarakan layanan BRT dibutuhkan sistem operasional yang jelas dan kuat. Dibutuhkan mulai dari sumber daya manusia, anggaran, dasar hukum, hingga kemampuan manajerial yang baik termasuk untuk bekerjasama dengan angkutan umum yang telah ada sebelum BRT hadir.
Sebagian pemerintah daerah, seperti Yogyakarta dan Bandar Lampung menyatakan tak mampu mengelola sendiri BRT-nya dan melimpahkan wewenang pengelolaan kepada perusahaan swasta.
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DIY Sumaryoto mengakui, pemberlakuan Trans Jogja sebagai BRT memang masih belum optimal.
“Syarat BRT itu ada jalur, pemberhentian khusus, dan cara pembayaran berbeda (nontunai dan atau tiket offboard/di halte). Yang tidak bisa kami penuhi adalah jalur khusus. Kami belum punya jalur sendiri (untuk bus),” kata Sumaryoto.
Sumaryoto menambahkan, mulai Januari 2019, Trans Jogja yang sebelumnya dikelola Unit Pelaksana Teknis Trans Jogja Dishub DIY, diserahkan kepada perusahaan di luar dinas. Harapannya, pengelolaan bisa lebih optimal karena biaya pendapatan dan pengoperasian dikelola pihak perusahaan. Dishub sebagai pengawas saja.
Direktur PT Anindya Mitra Internasional Dyah Puspitasari, pihak yang mendapat penugasan mengelola Trans Jogja, mengatakan BRT itu tidak dapat beroperasi dengan optimal jika belum diprioritaskan sebagai angkutan umum. Hal tersebut pun berpengaruh pada bagaimana cara para supir mengemudikan busnya.
"Pelayanan kepada masyarakat adalah tugas utama yang harus kami penuhi sebagai perusahaan di bidang pelayanan publik. Dengan pengelolaan sekarang, kami harus mengontrol betul pelayanan karena sekarang pengelolaan sepenuhnya ada pada kami. Jika pelayanannya buruk, itu berpengaruh pada perusahaan kami,” kata Dyah.
Keluhan yang sering masuk adalah supir bus berjalan seenaknya sendiri dan terkadang mengebut. Sebenarnya, itu
karena Transjogja ikut terhambat lajunya karena kepadatan lalu lintas. "Padahal, mereka harus memenuhi standar interval waktu tertentu,” kata Dyah.
Rangkul angkutan umum
Salah satu upaya DKI yang menjadi faktor penentu keberhasilan BRT di ibu kota, menurut Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Agung Wicaksono yaitu karena DKI merangkul angkutan umum eksisting sejak awal bus berjalur khusus itu beroperasi pada 2004.
Langkah masif kembali dilakukan pada 2017 saat mulai merangkul pengusaha angkutan bus sedang dan bus kecil. Para pengusaha diajak bergabung diwajibkan dapat memenuhi dengan standar-standar yang disusun PT Transjakarta.
"Kami memandang mereka sebagai mitra, bukan pesaing untuk bisa memberikan layanan yang baik," kata Agung.
Wakil Direktur The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, sejak beroperasinya Transjakarta, DKI dapat mengatur standar pelayanan minimum ini melalui seperangkat peraturan yang dibuat. ”Budaya transportasi baru pun terbentuk dari segala sisi,” kata Faela.
Namun, merangkul angkutan eksisting itu tidak mudah. Kepala Badan Layanan Umum (BLU) UPTD Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan, Jumat (18/1), mengatakan, persoalan sosial sempat muncul.
"Sebelum meluncurkan koridor VII Trans Semarang, setahun kami komunikasi dengan teman-teman angkutan existing karena ini persoalan takut tersingkir dalam mencari makan. Jadi, kami libatkan dalam operasional," kata Ade.
Ade menjelaskan, pada Koridor II, III, dan IV, pelibatan angkutan existing dalam operasional Trans Semarang belum dilakukan. Namun, pada koridor V, VI, dan VII, sudah ada pelibatan. Salah satu syarat bagi pengusaha angkutan existing untuk menjadi operator ialah scrapping atau pembekuan trayek angkutan existing.
Menurut Faela Sufa, kekurangan pemda di luar DKI Jakarta karena banyak pemda belum melakukan reformasi pada operator angkutan umum dan institusi transportasi. ”Merangkul angkutan lain memang tugas paling berat. Pengusaha-pengusaha angkutan eksisting ini harus kompatibel, kualitas pelayanannya harus sesuai dulu, dan pemerintah wajib mengakomodasi kepentingan mereka,” katanya.