Jatuh Bangun Merintis Transpatriot
Impian Kota Bekasi memiliki moda transportasi massal di dalam kota akhirnya terwujud. Bus Transpatriot telah beroperasi selama dua bulan terakhir. Namun, pekerjaan rumah menanti untuk dibenahi demi terwujudnya moda transportasi yang benar-benar memudahkan mobilitas warga kota.
Pengoperasian bus Transpatriot tidak berjalan mulus. Sejak kajian, pengadaan armada, dan pembagunan infrastrukturnya selesai pada 2017, pengelolaan angkutan massal itu menghadapi banyak masalah. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan uang senilai Rp 11 milar dari APBD Kota Bekasi untuk pengadaan sembilan minibus.
Salah satu masalah yang mendera adalah pengadaan bus yang belum masuk dalam e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Belum dibentuknya badan usaha milik daerah pengelola juga membuat peluncurannya molor. Pemerintah Kota Bekasi menargetkan peluncuran bus pada September 2017, tetapi baru terwujud pada 26 November 2018.
Selama setahun, sembilan minibus tidak digunakan. Halte-halte yang telah dibangun tidak terurus. Sebagian dicoret-coret, fasilitas pendukung seperti colokan listrik pun rusak. Kabar soal bus Transpatriot yang diharap mampu membangun transportasi massal modern pun hilang.
Namun, gairah mengoperasikan Transpatriot kembali bergelora ketika Wali Kota Rahmat Effendi terpilih kembali pada Pilkada 2018. Pengelolaan diserahkan dari Dinas Perhubungan kepada Perusahaan Daerah Mitra Patriot (PDMP). Sebulan setelah Rahmat dilantik pada September 2018, sembilan bus itu diluncurkan.
Di balik peluncuran, ada ketidaksempurnaan. PDMP tidak memiliki pengalaman dalam mengelola transportasi publik. Oleh karena itu, PDMP menggandeng Perum Damri untuk mengoperasionalkan sembilan bus tersebut. Selain karena berpengalaman, Perum Damri juga dipilih karena bersedia menanggung biaya operasional selama tiga bulan terlebih dulu untuk setelahnya diganti pemerintah.
Biaya operasional kemudian menjadi pembahasan alot. Menurut rencana, PDMP menggratiskan operasional Transpatriot selama seminggu. Namun, layanan bus gratis berlangsung lebih dari sebulan. Pada 3 Januari 2019, tarif Transpatriot baru diberlakukan, yaitu Rp 4.000 untuk sekali perjalanan.
Transpatriot melayani dalam satu koridor, yaitu Terminal Bekasi menuju Harapan Indah dan sebaliknya. Pada koridor tersebut, terdapat 21 lokasi pemberhentian.
Sepi
Kepala Divisi Transpatriot PDMP Nirwan Fauzi di Bekasi, Selasa (22/1/2019), mengatakan, selama dua bulan beroperasi bus itu belum diminati masyarakat. Total jumlah penumpang sekitar 750 orang per hari atau 15 orang per bus dalam sekali perjalanan. Pendapatan dari ongkos penumpang adalah Rp 3 juta per hari. “Belum ada peningkatan jumlah penumpang yang signifikan selama dua bulan ini,” kata dia.
Nirwan melanjutkan, pendapatan dari ongkos penumpang itu tidak bisa membiayai operasional bus. Biaya operasional masih disubsidi pemerintah kota sebesar 80 persen atau Rp 400 juta per bulan. “Kami harus bisa meraih 90 penumpang per bus tiap satu perjalanan untuk mencapai break even point,” ujarnya.
Namun, jumlah penumpang ideal itu masih sulit diraih karena layanan masih terbatas pada satu koridor. Yusuf Bachtiar (26), warga Medan Satria, mengatakan, keterbatasan rute belum mampu memenuhi kebutuhannya. Ia mencontohkan, dari Terminal Bekasi ia tidak bisa menjangkau Mal Metropolitan dalam sekali perjalanan.
Waktu tunggu bus juga relatif lama. Suko (28), warga Jakarta, baru pertama kali mencoba Transpatriot untuk pergi ke rumah kerabatnya di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Berdasarkan informasi petugas di Terminal Bekasi, ia diarahkan untuk menaiki Transpatriot karena jalur menuju Tarumajaya melewati Harapan Indah. “Waktu tunggunya lama sekali, sampai 20 menit,” ujarnya.
Selain waktu tunggu, durasi perjalanan juga panjang. Pada Selasa siang, perjalanan dari Terminal Bekasi menuju Harapan Indah menghabiskan waktu satu jam. Padahal, estimasi perjalanan menggunakan mobil atau sepeda motor pribadi membutuhkan waktu 30 menit.
Transpatriot tidak memiliki lajur khusus. Bus itu berjalan di lajur yang sama dengan kendaraan pribadi, angkutan umum, bahkan truk barang. Oleh karena itu,Transpatriot terjebak macet pada semua lokasi rawan, salah satunya Pertokoan Kranji. Begitu juga di Jalan Sultan Agung, yang merupakan jalan nasional jalur truk barang melintas dari dan menuju kawasan industri baik di Jakarta, Kota Bekasi, maupun Kabupaten Bekasi.
Infrastruktur penunjang juga terbatas. Halte bus berdiri di lahan seluas 3 meter persegi. Halte berisi satu kursi yang bisa diduduki tiga sampai lima orang. Tidak ada papan penunjuk rute di sana.
Jarak dari halte ke tepi jalan pun berbeda-beda. Ada yang bisa menjangkau bus secara langsung, ada juga yang berjarak hingga tiga meter dari jalan. Jalur pejalan kaki di sekitar halte juga belum nyaman, karena sebagian besar trotoar rusak. Masih kerap pula dijadikan lahan parkir kendaraan bermotor.
Selain itu, penumpang juga belum bisa membayar biaya perjalanan secara langsung di halte. Transaksi dilakukan di dalam bus dengan uang kontan dan selembar tiket. Oleh karena itu, petugas layanan bus (PLB) masih harus mondar-mandir di dalam bus setiap kali ada penumpang baru.
Meski beroperasi selama dua bulan, Transpatriot belum dikenal seluruh warga. Ines Priliatami (24), warga Bekasi Barat, mengatakan, belum tahu ihwal keberadaan bus tersebut. Ia belum pernah menerima sosialisasi mulai dari iklan di jalan, informasi pemerintah, hingga kabar di media sosial.
Mengetahui jalur operasi Transpatriot yang melewati Pertokoan Kranji dan Jalan Sultan Agung, ia pun enggan menggunakan bus itu. Menurut dia, kemacetan di sana hanya bisa ditembus dengan mengendarai sepeda motor.
Menurut dia, rute bus semestinya ditambah ke wilayah perbatasan dengan Kabupaten Bekasi, misalnya Cibitung. Belum ada angkutan umum dari Kota Bekasi menuju ke Cibitung sehingga pejalan kaki kesulitan menjangkaunya.
Ines yang sehari-hari bekerja di Jakarta menambahkan, lebih baik lagi jika Transpatriot terintegrasi dengan moda transportasi lain, misalnya Transjakarta. “Kalau Transpatriot bisa langsung bertemu dengan halte Transjakarta di Kampung Melayu atau Cawang UKI, itu akan sangat membantu,” kata dia.
Pekerjaan rumah
Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Kota Bekasi Fatikhun mengatakan, integrasi antarmoda merupakan tantangan bagi Transpatriot. Rute Transpatriot yang sudah ada saat ini pun berusaha mengakomodasi hal tersebut, yaitu dengan menempatkan lokasi perhentian di Apartemen Grand Dhika City, Bekasi Timur, yang nantinya merupakan lokasi stasiun kereta ringan (LRT).
Selain itu, terdapat pula lokasi perhentian di Stasiun Bekasi dan Halte Transjakarta di Gerbang Harapan Indah. Akan tetapi, di kedua tempat itu, belum ada halte Transpatriot. Penumpang masih diturunkan di trotoar di sekitarnya.
Ia mengakui, integrasi memang belum sempurna. Contohnya, untuk bisa mengakses halte Transjakarta secara langsung dari bus Transpatriot membutuhkan kerja sama kelembagaan dengan pemerintah terkait. Hal tersebut masih terus diupayakan.
“Selain keterhubungan dengan moda transportasi antarwilayah, integrasi juga dibutuhkan dengan angkutan umum di dalam kota,” kata Fatikhun. Pihaknya tengah merencanakan pemberdayaan angkutan umum untuk menjadi pengumpan Transpatriot.
Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi Harun Al Rasyid mengatakan, sepinya penumpang Transpatriot disebabkan oleh belum terpenuhinya kebutuhan rute masyarakat. Selain itu, rute yang sudah ada pun belum dikenal. Setidaknya, butuh waktu sekitar enam bulan untuk memperkenalkan rute tersebut.
Meski demikian, penambahan rute mutlak diperlukan. DTKB pun dilibatkan dalam pengkajian rute yang dibutuhkan masyarakat. “Ke depan, rute yang diprioritaskan adalah Bantargebang dan Pondok Gede,” kata Harun.
Prasyarat penambahan rute adalah penambahan bus. Pemerintah Kota Bekasi sudah mendapatkan hibah 20 minibus dari Kementerian Perhubungan bulan lalu. Namun, seluruhnya belum bisa digunakan karena masih terbelit pengurusan administrasi.
“Kebutuhan masyarakat memang belum bisa dipenuhi jika hanya dengan sembilan minibus,” kata Harun. Ia optimistis, jika ada penambahan bus, rute, dan perluasan jalan, Transpatriot mampu menjadi tulang punggung transportasi massal di Kota Bekasi.