Kepala Sekolah dan Pengawas Bertugas Mengevaluasi Pendidikan Karakter
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan kepala sekolah dan pengawas sangat penting dalam memastikan terwujudnya penguatan pendidikan karakter di sekolah. Apabila kepala sekolah selaku pengelola dan pemimpin tidak memiliki visi pendidikan karakter, tidak akan bisa memastikan guru menerapkan idealisme tersebut di kelas.
”Guru banyak sekali yang belum memahami pendidikan karakter, baik dari segi ideologi, definisi, maupun praktik,” kata Yusuf MT, widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Ia adalah salah satu narasumber dalam diskusi peluncuran buku Panduan Praktis Penguatan Pendidikan Karakter Kontekstual di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Yusuf menceritakan pengalaman melatih guru-guru. Dia mengungkapkan, para guru tersebut sangat terpaku pada penilaian kognitif. Belum banyak guru yang memperhatikan kemampuan sosial, empati, kreativitas, dan analitis siswa. Hal ini karena guru tidak terbiasa menerapkan kompetensi tersebut pada diri sendiri.
Para guru sangat terpaku pada penilaian kognitif. Belum banyak guru yang memperhatikan kemampuan sosial, empati, kreativitas, dan analitis siswa.
Sekadar menugaskan guru untuk kreatif mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kekhasan lingkungan sekitar juga tidak efektif. Kenyataannya, kerap ditemukan guru dalam pembuatan rencana pembelajaran untuk kelas masing-masing ternyata meniru dari guru lain.
”Orang pertama yang harus memiliki visi pendidikan karakter adalah kepala sekolah karena ia merupakan guru yang dinilai berprestasi sehingga dinilai layak mengelola sekolah,” ujar Yusuf. Selain itu, pengawas juga diperkuat karena mereka adalah kepala sekolah yang dinilai mumpuni untuk mengelola pendidikan dalam jumlah lebih besar.
Pernyataan tersebut disetujui oleh Patrisius Pederiko, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dia mengatakan, program penguatan karakter yang dilakukan di sekolah-sekolah di Sikka mengambil landasan budaya kulababong, yakni tradisi bermusyawarah yang mampu mendekatkan berbagai kelompok etnis dan agama di Sikka.
Program penguatan karakter yang dilakukan di sekolah-sekolah di Sikka mengambil landasan budaya kulababong, yakni tradisi bermusyawarah yang mampu mendekatkan berbagai kelompok etnis dan agama di Sikka.
”Permasalahannya, ada guru-guru yang tidak memahami budaya kulababong atau hanya tahu definisi, tetapi tak bisa menerapkan karena pola pikirannya masih belum inklusif terhadap orang yang berbeda darinya,” ujar Patrisius. Akibatnya, guru kebingungan dengan cara mempraktikkan pendidikan karakter, apalagi melakukan evaluasi.
Sementara itu, Kepala Bagian Pembinaan Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Lambertus Benny mengatakan, persiapan program pendidikan karakter memang banyak di penguatan kompetensi guru. Pendekatan yang diambil di Kabupaten Landak adalah program sekolah hijau. Targetnya adalah menciptakan komunitas pendidikan yang aman dan toleran dengan cara belajar melalui pelestarian lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Komunikasi
Pakar pendidikan karakter Doni Koesoema mengatakan, pendidikan karakter yang efektif tidak bisa hanya dilakukan di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah dan pengawas bisa melakukan komunikasi intensif dengan dinas-dinas, pemerintah, dan masyarakat.
”Pendidikan karakter hendaknya bersifat menyeluruh, mulai dari aturan di sekolah hingga kebijakan di masyarakat yang selain disiplin juga saling menghargai perbedaan yang ada sebagai kekayaan bangsa,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu diluncurkan buku Panduan Praktis Penguatan Pendidikan Karakter Kontekstual yang merupakan kolaborasi Kemdikbud dengan Wahana Visi Indonesia. Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter Kemdikbud Arie Budhiman mengatakan, buku tersebut dibuat sangat umum agar guru bisa mengadaptasi nilai-nilai lokal yang sesuai dengan pengembangan pendidikan karakter di wilayah masing-masing.
”Kalau petunjuk teknisnya kaku, malah akan mematikan khazanah budaya lokal. Tujuan pendidikan karakter ialah membangun kesadaran siswa akan diri, komunitasnya, dan masyarakat luas sehingga bisa menjadi warga negara dan warga dunia yang baik,” ujarnya.