Komitmen Penyediaan Kawasan Konservasi Masih Minim
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Komitmen pemegang ijin konsesi untuk menyediakan kawasan dengan nilai konservasi tinggi masih lemah. Penyediaan kawasan konservasi dinilai hanya sebatas pemenuhan regulasi dan berubah menjadi perangkap ekologis bagi satwa liar dilindungi, khususnya orangutan.
Hal itu diungkapkan Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin di sela-sela Diseminasi Kehidupan Orangutan di Multifungsi Landscape untuk memperingati Hari Primata Nasional 30 Januari mendatang. Acara itu diselenggarakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Selasa (22/1/2019).
Menurut Yaya, selama ini yang dilakukan pemegang ijin konsesi adalah menciptakan perangkap ekologis, bukan kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV). Hal itu dilihat dari desain kawasan konservasi di dalam areal inti konsesi yang terlalu kecil dan dibuat terpencar.
“Areal konservasi dengan skala kecil hanya akan menjadi perangkap ekologis bagi orangutan dan berpengaruh terhadap keberlangsungan produksi dan kelestarian orangutan. Ini sama sekali bukan prinsip konservasi,” kata Yaya.
Yaya mencontohkan, kawasan hutan yang menjadi habitat orangutan dibuka menjadi perkebunan sawit akan mengganggu struktur populasi. Saat diubah menjadi perkebunan, induk dan anak orangutan tidak bisa berpindah.
“Dalam kondisi itu, anak orangutan bisa kekurangan gizi. Penelitian kami menunjukkan perbedaan berat badan yang sangat tinggi bayi orangutan di dalam kawasan perkebunan sawit dan di habitat aslinya. Ini mengganggu kelangsungan hidup,” kata dia.
Perangkap ekologis juga merugikan perusahaan, khususnya perkebunan sawit atau pemegang ijin Hutan Tanaman Industri (HTI). Penelitiannya menunjukkan satu orangutan mampu memakan 30-50 tanaman sawit muda per hari.
Orangutan terdesak memakan tanaman sawit, karena makanan asli yang biasa ia makan tidak ditemukan. Selain itu, lanjut Yaya, orangutan kerap memakan buah dan umbut pohon bandang atau Borrosadendron borneensis yang mirip kelapa sawit muda.
Kegemaran orangutan memakan sawit, kata Yaya, menjadi faktor masifnya pembunuhan orangutan di ladang sawit. Dahulu, perusahaan bahkan membayar orang untuk mengusir dan membunuh orangutan.
“Maka dari itu perusahaan perlu jujur dan terbuka dalam konservasi, saya melihat masih banyak yang takut untuk konservasi karena ketika kerja sama akan terbuka bahwa di kawasan konsesinya banyak orangutan,” ungkap Yaya.
Desain konservasi di kawasan konsesi harus dirubah. Tidak lagi dengan skala kecil terpecar tetapi dijadikan satu dan berlokasi di dekat kawasan lindung atau kawasan konservasi seperti taman nasional.
Menanggapi hal itu, Koordinator Bidang Sustainability dan Pembinaan Masyarakat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Kalteng Suto Suwahyo mengungkapkan, lebih kurang terdapat 800.000 hektar lebih yang disiapkan oleh 102 anggotanya untuk HCV.
“Kalau perusahaan yang bergabung dengan RSPO itu kan wajib, kalau gak ada itu gak lulus. Nah, tidak semua anggota GAPKI masuk ke RSPO tetapi kami tetap dorong untuk menyiapkan HCV,” kata Suto.
Kepala BKSDA Provinsi Kalteng Adib Gunawan mengungkapkan, dalam upaya konservasi pihaknya tidak bisa bekerja sendirian. Ia pun akan terus berupaya untuk bersinergi dengan semua lembaga terkait untuk konservasi.
“Daya tampung tempat pelepasliaran selema ini hanya 350 orangutan, tetapi tetap harus dicari tempat-tempat lain,” ungkap Adib.