JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih butuh waktu untuk mengkaji pembebasan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir. Pasalnya, pembebasannya terbentur aturan di Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menyebutkan, remisi dan pembebasan bersyarat terpidana terorisme harus menandatangani surat pernyataan setia kepada NKRI.
Sebelumnya, Ba’asyir disebut oleh Ketua Umum Partai Bulan Bintang sekaligus pengacara dari calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, akan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, pekan ini.
Namun, Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly tidak bisa memastikan hal tersebut. ”Kami masih melakukan kajian mendalam dari berbagai aspek, seperti hukum, ideologis, keamanan, dan lain-lain,” katanya saat jumpa pers, di Jakarta, Selasa (22/1/2019) petang.
Kajian dilakukan bersama lembaga dan kementerian lain, antara lain Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Polri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Kementerian Hukum dan HAM.
”Kami perlu mengkaji karena tidak mudah. Ini menyangkut prinsip fundamental bagi bangsa sehingga kita sampai saat ini belum memutuskan. Kami akan rapat lagi setelah masing-masing kementerian dan lembaga memberikan pandangan dan melihat persyaratan yang diajukan,” lanjutnya.
Kementerian Hukum dan HAM baru akan memberikan persetujuan jika Ba’asyir menandatangani surat pernyataan setia kepada NKRI.
Hal ini sesuai dengan yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Di sana disebutkan, semua narapidana terorisme yang ingin mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat harus memenuhi paling tidak dua kriteria utama, yaitu menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan NKRI serta bersedia membantu pemerintah dalam proses penegakan hukum.
”Kami berharap, persyaratan dipenuhi untuk kebaikan bersama,” ujar Yasonna.
Dengan belum terpenuhinya syarat itu, menurut dia, Ba’asyir baru memenuhi persyaratan berkelakuan baik dan tidak melanggar aturan tata tertib lembaga pemasyarakatan selama menjalani hukumannya.
Dalam kesempatan itu, dia pun membantah ada kepentingan politik di balik rencana pembebasan Ba’asyir. Pasalnya, usulan pembebasan bersyarat telah diberikan kepada Ba’asyir sejak 13 Desember 2018 atau setelah dia menjalani dua pertiga masa pidana. Namun, karena Ba’asyir tidak bisa memenuhi persyaratan, menandatangani surat pernyataan setia kepada NKRI, hak tersebut tidak diberikan.
”Jadi, jangan ada yang mengatakan ini untuk kepentingan politik. Tidak ada kepentingan politik di sini,” ucapnya.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra, yang pertama kali memberitahukan kepada publik perihal rencana pemerintah membebaskan Ba’asyir, menegaskan kembali, pembebasan Ba’asyir didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan karena usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang makin menurun.
Menurut Yusril, hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Yusril menyatakan, semua pertimbangan dan hasil pembicaraannya dengan Ba’asyir telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Terkait pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang akan mengkaji ulang dan mempertimbangkan kembali pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, dia menegaskan, hal itu merupakan kewenangan pemerintah yang harus dihormati.
”Yang terpenting, tugas yang diberikan Presiden sudah saya laksanakan. Jika kemudian ada perkembangan dan kebijakan baru, saya kembalikan semuanya kepada pemerintah,” ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima Kompas.
Pengawasan
Kepala Biro Penerangan Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, Polri akan tetap mengawasi Ba’asyir sekalipun kelak dia dibebaskan. Pengawasan juga akan dilakukan pada sel-sel teroris yang selama ini dikenal sebagai simpatisan Ba’asyir.
”Menurut saya, kekuatan Satuan Tugas Antiterorisme di Polda Jawa Tengah dan Polres Surakarta mencukupi untuk melakukan pengawasan terhadap Ba’asyir,” ucapnya.
Pengawasan tidak hanya oleh Polri, tetapi juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut dia, BNPT telah memiliki keahlian khusus untuk mengawasi bekas narapidana terorisme dan melakukan deradikalisasi.
”Selain berkoordinasi dengan BNPT, tentunya kami akan bekerja sama juga dengan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat setempat untuk sama-sama melakukan pengawasan terhadap Ba’asyir dan mengantisipasi bangkitnya sel tidur terorisme,” tutur Dedi. (ERIKA KURNIA/PANDU WIYOGA/FAJAR RAMADHAN)