Mencari Rumus Pendidikan Agama untuk Wadah Persatuan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Rumus pendidikan agama di negara-negara di Asia Tenggara sangat beragam. Agama sejatinya masih memiliki nilai yang sangat penting bagi budaya Asia Tenggara. Akan tetapi, harus ada rumusan bagi pendidikan agama agar bisa menjadi alat perekat persatuan sebuah bangsa dan wahana untuk mengenal dan menghargai keragaman yang ada di masyarakat.
Tesis itu menjadi pokok pemikiran seminar internasional yang berjudul "Merawat Keimanan: Negara, Pendidikan Keagamaan, dan Pencegahan Kekerasan Ekstrem di Asia Tenggara" pada 14-16 Januari 2019 di Jakarta. Seminar diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang memaparkan hasil penelitian mengenai pendidikan agama di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Myanmar.
Guru Besar Antropologi UIN Syarif Hidayatullah menerangkan bahwa pada kelompok-kelompok etnis di Asia Tenggara agama sering kali bagian dari identitas. Misalnya, suku bangsa Burma di Myanmar otomatis memeluk agama Buddha, sama seperti suku bangsa Aceh di Indonesia yang otomatis memeluk agama Islam.
"Ketika agama menjadi bagian dari identitas sosial dan politik, kita harus sensitif untuk mengajarkannya. Jangan sampai agama menjadi alat untuk mengkotak-kotakkan masyarakat ke dalam mayoritas dan minoritas yang berujung kepada tekanan sosial," paparnya.
Hasil penelitian di Thailand misalnya menunjukkan tidak ada pelajaran agama di sekolah umum. Akan tetapi, sekolah rutin melakukan kegiatan tradisional seperti hormat kepada raja dan hari-hari besar nasional yang seluruhnya berbasis pada agama Buddha karena agama itu melekat kepada keluarga kerajaan Thailand.
Dorita Setiawan, koordinator peneliti di Thailand mengatakan, sering kali masyarakat mayoritas Thailand tidak memahami sensitivitas ritual tersebut bagi para umat agama minoritas di Negara Gajah Putih itu. "Bahkan, masyarakat dari agama mayoritas pun kerap tidak memahami makna ritual itu sendiri dan menerimanya sebagai bagian dari identitas mereka sebagai subyek dari kerajaan," tuturnya.
Sering kali, suasana tampak tenang di permukaan. Namun, lanjut Dorita, masyarakat sebenarnya hidup dalam status quo. Berdampingan tetapi tidak saling mengenal, bahkan tidak mau untuk berkenalan. Fenomena ini merupakan api dalam sekam yang apabila dipantik permasalahan politik atau pun ekonomi akan membuat ledakan konflik horisontal.
Rekomendasi dari penelitian tersebut adalah mengajak setidaknya sekolah dan pemerintah daerah untuk mengenali keragaman masyarakat sekitar. Dalam hal ini, sekolah berperan penting mendidik siswanya untuk memahami makna dari menjadi warga suatu negara dan identitas yang menyertainya.
Metode ini diterapkan di Singapura. Rizwana Abdul Azeez, peneliti dari Asian, Culture and Society, Ecole Superieure des Sciences Economiques et Commerciales Singapore, menjabarkan bahwa pendidikan agama bersinergi dengan pendidikan kewarganegaraan. Materi yang diberikan adalah memperkenalkan siswa kepada berbagai agama yang ada di Singapura beserta pemahaman ke-Tuhan-nya.
"Namun, lebih penting lagi di dalam pendidikan agama ialah mengajar siswa makna beragama dalam konteks sebagai warga Singapura yang baik. Agama masuk ke dalam agenda pembangunan masyarakat," tuturnya. Sekolah-sekolah negeri beserta wilayah permukiman juga menerapkan kuota guna memastikan setiap kelompok agama dan etnis mendapat tempat.
Mencegah konflik
Masyarakat Asia Tenggara sudah berkali-kali menghadapi konflik sosial dan politik yang menggunakan agama sebagai pemicunya. Terlepas dari alasan utama konflik untuk merebut kekuasaan politik atau pun pengaruh ekonomi di suatu wilayah, agama sangat mudah digunakan untuk menggerakkan massa melakukan kekerasan dan diskriminisasi, baik secara frontal maupun subliminal.
Salah satu contohnya adalah kekerasan kepada etnis Rohingya di Myanmar. Debbie Affianty, koordinator untuk penelitian di Myanmar memaparkan sentimen ultranasionalis yang mengatakan bahwa negara Myanmar hanya diperuntukkan bagi etnis Burma. Etnis di luar itu, bahkan campuran antara etnis Burma dengan yang lain, mengalami diskriminasi.
"Dunia internasional paling mengenal soal pengusiran etnis Rohingnya yang beragama Islam di Provinsi Rakhine. Akan tetapi, penelitian menemukan terjadinya diskriminasi dan tekanan sosial terhadap kelompok agama lain seperti Nasrani melalui pembubaran kegiatan keagamaan secara sporadis," tuturnya.
Dalam proses penelitian juga dilakukan diskusi yang melibatkan sekolah serta pemerintah. Pada diskusi itu dibagikan 17 buku teks pendidikan kewarganegaraan untuk sekolah umum yang mengandung materi keberagaman aliran agama di Myanmar. Menurut Debbie, pengenalan itu bertujuan untuk menggugah mayoritas masyarakat Myanmar yang moderat agar lebih proaktif dalam pendidikan.
Keseimbangan
Jamhari mengatakan, kendala utama pendidikan agama adalah tanpa disadari lebih banyak fokus kepada pengajaran ritual dibandingkan memaknai agama sebagai penegasan menciptakan masyarakat yang damai dan saling menghargai. Agama sejatinya selain mendekatkan manusia dengan Sang Pencipta juga untuk memanusiawikan masyarakat. Artinya, segala perbedaan dan keragaman yang ada di dunia hendaknya tidak dilihat sebagai pemisah, melainkan khazanah yang harus dihormati.
"Butuh keseimbangan dalam mengajar pendidikan agama. Negara tidak boleh otoriter dan menyeragamkan pemahaman semua agama, tetapi juga tidak bisa terlalu liberal sehingga memberi ruang kepada penafsiran yang bertolak belakang dengan nilai kebangsaan," ucapnya.