Setelah satu dekade, Bus Rapid Transit atau BRT Trans Semarang semakin berperan membingkai transportasi perkotaan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tak sekadar melayani penumpang, Trans Semarang kini kian bersolek, menjadi angkutan metropolitan yang ramah lingkungan.
Dalam halte BRT Simpang Lima, Jumat (18/1/2019) siang, Muhammad Iskhak (32) menggendong anaknya yang berusia satu tahun, sedangkan dua anaknya yang lain duduk di bangku, ditemani sang istri. Iskhak fokus memerhatikan petugas BRT yang sigap mengingatkan penumpang di halte setiap bus datang.
Begitu petugas mengingatkan bus koridor I rute Mangkang-Penggaron hendak tiba, Iskhak bergegas menyuruh anak dan istrinya menuju pintu halte. Kala itu, halte serta bus cukup padat. Iskhak beserta keluarganya mesti menunggu giliran sebelum melangkahkan kaki ke dalam bus.
Iskhak, warga Mranggen, Kabupaten Demak, merasa BRT merupakan angkutan umum paling praktis dan terjangkau untuk membawa keluarganya jalan-jalan ke Semarang. "Memang, saya harus naik dari Terminal Penggaron (untuk ke Semarang), tetapi BRT paling pas kalau mau jalan-jalan dengan keluarga," katanya.
Menurut dia, pelayanan Trans Semarang terus membaik, terutama dalam setahun terakhir. Sebelumnya, kendala ketepatan waktu dan kualitas pelayanan dirasa masih perlu perbaikan. Tetapi kini, kata Iskhak, sudah semakin membaik. Walau pada waktu tertentu, bus hampir selalu penuh.
Kenyamanan lain yang dirasakan Iskhak, yakni suara mesin bus yang tak lagi bising. "Belakangan, setelah ada konversi ke BBG, suara mesin tak bising lagi, juga tak bau bensin (solar). Ini baik untuk lingkungan," ujarnya.
Agus (16) asal Pedurungan, juga merasa terbantu dengan peningkatan pelayanan Trans Semarang. "Sopir yang mengebut juga sudah semakin jarang. Tapi memang kalau jam-jam pulang sekolah menunggu kedatangan bus masih agak lama, terkadang lebih dari setengah jam. Yang pasti, tiketnya murah," katanya.
Adapun Trans Semarang kini telah memiliki 7 koridor. Menurut rencana, pada 2019, akan diluncurkan Koridor VIII, serta Koridor IX, X, XI, yang berupa feeder (pengumpan). Adapun harga tiket yakni Rp 3.500 untuk umum dan Rp 1.000 untuk pelajar/mahasiswa serta pemegang kartu identitas anak (KIA).
Setelah beroperasi 10 tahun, BRT Trans Semarang kini memiliki tujuh koridor. Pengelola menargetkan pada 2021, Trans Semarang melayani 12 koridor, terdiri dari delapan trayek bus dan empat angkutan pengumpan (feeder).
"Sopir yang mengebut juga sudah semakin jarang. Tapi memang kalau jam-jam pulang sekolah menunggu kedatangan bus masih agak lama, terkadang lebih dari setengah jam. Yang pasti, tiketnya murah," katanya.
Bahan bakar gas
Pada 9 Januari 2019, Pemkot Semarang meluncurkan penggunaan alat konversi bahan bakar dari solar ke gas (BBG) untuk 72 unit bus Trans Semarang. Proyek senilai Rp 10 miliar itu kerja sama Kota Semarang dan Kota Toyama Jepang. Skema pembiyaan yakni 50-50, dari Kota Toyama dan APBD Kota Semarang.
Kepala Badan Layanan Umum (BLU) UPTD Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan, menuturkan, selain ramah lingkungan, penggunaan BBG menekan ongkos operasional. Selain itu, mesin pun menjadi lebih halus, awet, dan bertenaga. Seperti di daerah tanjakan, jika sebelumnya harus gigi 2, kini bisa gigi 3.
Ade menambahkan, di Semarang terdapat tiga tempat pengisian bahan bakar gas (SPBG). "Namun, saluran pipa di ketiga SPBG itu baru ditargetkan tersambung tahun ini. Untuk sementara, Pertamina menyediakan MRU (Mobile Refueling Unit), sehingga pengisian bahan bakar tetap bisa dilakukan," ujar Ade.
Wali Kota Toyama, Masashi Mori dalam keterangannya mengatakan, usaha konversi bahan bakar ini merupakan proyek usulan yang pertama sehingga bisa dipromosikan sebagai model untuk daerah dan kota lain di dunia. Semarang terpilih 1 dari 100 kota di yang berhasil mengelola tranportasi umum dengan baik.
"Sejak September 2017 kami, Kota Toyama melakukan survei yang mempromosikan masyarakat rendah karbon dengan city to city colaboration. Dengan teknologi koverter dari Toyama gas karbon bisa ditekan hingga 40 persen," katanya.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, proyek tersebut merupakan langkah konkret untuk mengatasi permasalahan kemacetan dan polusi di kota besar. "Setelah MoU (kota kembar) dengan Kota Toyama, langsung ditindaklanjuti dengan mengonversi solar ke gas untuk transportasi massal," ujar Hendrar.
Adapun teknologi konverter dengan sistem retrofit yang digunakan yaitu 70 persen gas dan 30 persen solar. Kedua bahan bakar itu tetap bisa digunakan, tetapi solar digunakan cadangan.
Dari hasil uji coba dengan jarak tempuh 16,5 kilometer, bahan bakar solar maka membutuhkan 5,5 liter dengan biaya Rp 28.325. Sementara dengan bahan bakar campuran solar dan gas membutuhkan 1,48 liter solar dan 4,02 Lsp gas CNG dengan biaya Rp 20.084.
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menuturkan, penggunaan BBG merupakan hal positif, khususnya bagi lingkungan. "Namun, faktor keamanan tetap harus diperhatikan. Ini juga terkait dengan perilaku sopir. Potensi kecelakaan harus ditekan, demi keamanan dan kenyamanan penumpang," ujar Djoko.