Pengembangan sistem transportasi massal tidak hanya butuh infrastruktur fisik, tetapi juga perlu solusi untuk mengatasi problem sosial. Hampir di setiap daerah, termasuk Kota Semarang, problem muncul saat bus rapid transit atau BRT dianggap mengancam angkutan yang sudah ada. Pelibatan jadi solusi.
Kepala Badan Layanan Umum (BLU) UPTD Trans-Semarang Ade Bhakti Ariawan, Jumat (18/1/2019), mengatakan, persoalan sosial memang sempat muncul. Namun, pihaknya terus berupaya menggandeng angkutan lama (existing) dan memberi pemahaman serta melibatkan mereka dalam pengoperasian Trans-Semarang.
Menurut dia, hal tersebut bukan perkara mudah dan membutuhkan proses. ”Sebelum meluncurkan Koridor 7 Trans-Semarang, kami lakukan komunikasi dengan teman-teman angkutan existing selama setahun karena ini persoalan takut tersingkir dalam mencari makan. Jadi, kami libatkan dalam operasional,” katanya.
Ade menjelaskan, di koridor 2, 3, dan 4, pelibatan angkutan lama dalam pengoperasian Trans-Semarang belum dilakukan. Namun, di koridor 5, 6, dan 7 sudah ada pelibatan. Salah satu syarat bagi pengusaha angkutan lama untuk menjadi operator ialah scrapping atau pembekuan trayek angkutan lama.
Di koridor 7, lanjut Ade, proses tersebut dilakukan dengan mengganti empat angkutan kota (angkot) dengan satu unit bus BRT. ”Satu koridor ada 14 bus. Dengan demikian, ada 56 angkot yang bergabung. Nantinya, kami upayakan semua angkot seperti itu, terlibat di operator,” ucapnya.
Ade mengatakan, 153 bus Trans-Semarang yang beroperasi antara lain berasal dari bantuan Kementerian Perhubungan, bantuan keuangan Pemprov Jawa Tengah, dan konsorsium. Adapun konsorsium merupakan pengusaha angkutan lama yang bergabung dengan Trans-Semarang.
Dalam perekrutan, kata Ade, ada persayaratan tertentu untuk bisa bergabung dengan Trans-Semarang. ”Di antaranya tes kesehatan, psikotes, dan pengalaman. Biasanya, mereka gagal di psikotes. Kami hanya menerima SDM yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan,” katanya.
Menurut Ade, Trans-Semarang mendapat dukungan dari eksekutif ataupun legislatif. Pada 2019, total biaya operasional Trans-Semarang sebesar Rp 140 miliar dan Rp 112 miliar di antaranya dari APBD.
Ke depan, seiring perkembangan, biaya operasional bakal terus meningkat. ”Terlebih, pada 2020 kami berencana menambah jam operasonal hingga pukul 22.00 berdasarkan pada kajian di masyarakat,” ucap Ade. Saat ini, keberangkatan terakhir pukul 18.30.
Adapun Trans-Semarang telah memiliki tujuh koridor. Menurut rencana, pada 2019 akan diluncurkan koridor 8 serta koridor 9, 10, 11 yang berupa pengumpan (feeder). Adapun harga tiket ialah Rp 3.500 untuk umum dan Rp 1.000 untuk pelajar/mahasiswa serta pemegang kartu identitas anak (KIA).
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, persoalan sosial memang dihadapi hampir di semua daerah. Karena itu, sistem yang dibangun mesti menggeser, bukan menggusur. Artinya, angkutan lama dilibatkan dan dibina menjadi koperasi, bukan membuat operator baru.
Konsep tersebut juga digunakan pada angkutan aglomerasi Trans-Jateng, yang dikembangkan Pemprov Jateng. ”Jangan sampai, ada sistem baru, yang lama ditinggalkan. Memang bukan hal mudah untuk mengajak, tetapi nyatanya konsep seperti itu bisa pada Trans-Jateng koridor Bawen-Semarang (aglomerasi Kedungsepur) yang sudah terwujud,” ujar Djoko.