Merengkuh Lantai Samudra yang Tersingkap di Kebumen
Oleh
Megandika Wicaksono
·5 menit baca
Tebing batu menjulang hingga 30 meter dari dasar aliran Sungai Muncar yang mengalir gemercik di Desa Seboro, Kecamatan Sadang, Kebumen, Jawa Tengah. Pada bagian atas, tersusun batuan berwarna hitam. Bentuknya bulat-bulat bagaikan kenong dan gong. Pada lapisan bawah, berdiri kokoh batu berwarna merah muda seolah menyangga seperangkat gamelan itu.
”Masyarakat menyebutnya Watu Kelir. Ini ibaratnya suatu pakeliran, suatu pertunjukan. Bagi geologi, ini adalah suatu pertunjukan bagaimana Bumi bergerak. Ada suatu proses dinamika Bumi yang terjadi,” kata Peneliti Utama Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Chusni Ansori, Senin (21/1/2019), saat memandu sejumlah wartawan dan pegawai Pemerintah Kabupaten Kebumen untuk mengenali kawasan Geopark atau Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong.
Pada 30 November 2018, Geopark Karangsambung-Karangbolong seluas 543.599 kilometer persegi telah ditetapkan sebagai geopark nasional. Kawasan yang punya beragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, hingga pantai, ini mencakup 117 desa di 12 kecamatan di Kebumen.
Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama yang terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya. ”Di Karangsambung sampai Karangbolong memiliki enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu hingga sekarang,” lanjutnya.
Karangsambung berada sekitar 19 kilometer arah utara Alun-alun Kebumen. Jalan menuju lokasi ini berkelok sejajar dengan aliran Sungai Luk Ulo di sebelah barat dan tebing-tebing batu di sebelah timur.
”The present is the key to the past. Bahwa apa yang kita lihat hari ini adalah kunci memahami masa lalu. Pada batu di bagian atas watu kelir adalah batuan beku yang bentuknya seperti kenong dan gong. Karena bentuknya juga seperti bantal, maka disebut juga lava bantal,” tutur Chusni.
Batuan beku lava bantal itu terjadi karena aktivitas vulkanik yang ada di permukaan. Jika batuan beku di dalam perut bumi, dapat menghasilkan batuan beku dalam.
”Di permukaan pun, bisa di darat dan bisa di laut. Gunung itu menghasilkan magma, bisa di darat dan di laut. Kalau di laut, dapat menghasilkan struktur pillow atau bantal,” paparnya.
Lantai samudra
Chusni melanjutkan, pada bagian bawah batuan berwarna merah muda itu jika diamati lebih detail juga memiliki gradasi warna yang beragam, antara lain warna merah muda dan merah hati ayam.
”Ada dua variasi batuan. Ini adalah batuan sedimen dengan adanya perselang-selingan, antara batu rijang dan batu lempung merah gampingan,” ujarnya.
Batuan ini, lanjut Chusni, sudah diselidiki dari fosilnya, ternyata fosil yang didapatkan adalah fosil yang identik dengan kedalaman 4.000 meter. Artinya, saat batu ini terbentuk, tempat ini adalah tempat yang berada di kedalaman 4.000 meter.
Perwujudan batuan tersebut, ujar Chusni, menunjukkan bahwa di situ ada pengendapan batuan-batuan sedimen, kemudian ada juga aktivitas magma gunung api di bawah laut.
”Usia batuan di sini sekitar 81-80 juta tahun. Artinya, 80 juta tahun lalu, tempat kita berada saat ini adalah dasar samudra,” ucapnya.
Karangsambung merupakan tempat pertemuan lempeng Samudra Hindia-Australia dan lempeng Benua Eurasia. Hal ini membuat batuan di tempat tersebut beraneka ragam dan bercampur aduk yang disebut melange. Akibat gaya tektonik yang sangat kuat, daerah ini mulai terangkat di atas muka laut.
Dari penelitian geokimia, kata Chusni, batuan-batuan di Watu Kelir itu merupakan bagian dari lempeng Samudra Hindia-Australia.
”Bagi orang geologi, kalau ke Karangsambung belum ke tempat ini, itu belum sah. Karangsambung adalah lantai samudra purba dan jika belum menginjak bagian dari lempeng samudra, tentu tidak sah. Ini jadi tempat wajib bagi orang kebumian,” katanya.
Bagi orang geologi, kalau ke Karangsambung belum ke tempat ini, itu belum sah. Karangsambung adalah lantai samudra purba dan jika belum menginjak bagian dari lempeng samudra, tentu tidak sah.
Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Edi Hidayat menyampaikan, Karangsambung merupakan warisan bumi yang begitu luar biasa. Maka, tidak heran kabupaten itu disebut Kebumen atau bumi kebumian.
Penemuan pertama batuan tua di Karangsambung yang disebut batuan pra-tersier di Pulau Jawa ini dilaporkan oleh peneliti geologi Belanda, RDM Verbeek dan R Fennema, pada 1881. R Fennema yang membantu Verbeek merasa beruntung untuk pertama kali menemukan ”tanah dasar Pulau Jawa”.
Edi menyebutkan, daerah itu kemudian dipetakan oleh Harloff pada 1933. Selanjutnya, setelah Perang Dunia Kedua, daerah ini kembali menjadi obyek penelitian, antara lain oleh Tjia (1966) dan Asikin (1974). Sukendar Asikin adalah orang pertama yang mengulas geologi daerah Karangsambung berdasarkan teori tektonik lempeng.
Selanjutnya, lanjut Edi, pada 1964 di Karangsambung dibangun Kampus Lapangan Geologi di bawah LIPI. Sejak tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan ke tempat itu terus meningkat, baik mahasiswa, peneliti, maupun pelajar dan masyarakat umum. Per tahun rata-rata jumlah kunjungan berkisar 13.000 sampai 14.000 orang. Pada 2016, tercatat ada 13.013 pengunjung, tahun 2017 ada 13.692 orang, dan pada 2018 ada 14.644 orang.
”Tempat ini menjadi ’kawah Candradimuka’ bagi calon ahli geologi di Indonesia,” ucap Edi.
Di Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI yang luasnya sekitar 5 hektar juga dilengkapi dengan Museum Melange. Pelajar dan pengunjung dapat melihat dan mengamati aneka jenis batuan, mulai dari batuan beku, sedimen, hingga metamorf berusia puluhan juta tahun.
Di dalam museum tersebut disajikan pula berbagai informasi mengenai kebumian, mulai dari lapisan-lapisan bumi, proses vulkanik gunung api, hingga terjadinya gempa bumi.
Taman bumi
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Kebumen bekerja sama dengan LIPI serta tokoh masyarakat menyiapkan sejumlah program untuk mengembangkan potensi taman bumi agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, juga memberikan edukasi dan pemahaman pentingnya menjaga warisan kebumian itu serta mewaspadai potensi bencana alam yang ada.
Potensi bencana alam di kawasan itu cukup banyak, mulai dari tsunami di pantai selatan, longsor akibat batuan-batuan purba itu berada di atas tanah lempung yang mudah gugur karena licin saat hujan, hingga banjir dan gempa bumi.
Ancaman kerusakan lingkungan juga membayangi karena penambangan pasir serta batu oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab masih terjadi.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Kebumen Azam Fatoni mengatakan, bersama badan pengelola geopark, pihaknya akan mengembangkan pembangunan taman bumi yang terukur, tidak sekadar mendatangkan banyak wisatawan, tetapi justru merusak alam.
”Kami tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga penguatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan kelompok sadar wisata untuk pengembangan geopark ini,” kata Azam.
Status geopark nasional menjadi peluang dan momentum untuk merengkuh serta mengembangkan potensi alam warisan kebumian secara bijak dan berkelanjutan. Jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan, lantai dasar samudra yang berusia puluhan juta tahun itu akan punah selamanya.