Pedagang Tak Lelah Mencari Celah (5)
Penataan pedagang kaki lima di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum menemukan formula terbaik. Program relokasi pedagang ke tempat baru beberapa kali gagal. Pada saat yang sama, pedagang dan satuan polisi pamong praja kucing-kucingan, aparat ingin menertibkan mereka, sementara pedagang ingin memanfaatkan celah kesempatan. Peristiwa ini pun kerap berujung bentrok fisik seperti yang terjadi Kamis (17/1/2019).
Jumat (18/1/2019) siang, trotoar Jalan Jati Baru Raya dekat belokan ke Jalan Kebon Jati terlihat luas dan lengang. PKL dan barang dagangannya berjajar di depan bangunan-bangunan tepi jalan. Risma (47) turut duduk di situ, memainkan ponsel sambil menunggu pembeli.
Setelah penertiban PKL oleh satpol PP yang berujung bentrok, Kamis, Risma membuka lapak lebih siang, sekitar 11.00. Ia menilai, aparat semakin beringas belakangan ini. Dagangan PKL dirampas sebelum digelar.
Gara-gara itu, Risma tak berjualan selama lima hari. Namun karena desakan kebutuhan hidup, ia nekat kembali berdagang di trotoar. ”Lebih baik saya perang sama satpol PP daripada perang sama perut dan anak-anak yang minta makan di rumah. Mau gimana lagi? Saya tidak punya pilihan. Di jembatan penyeberangan multiguna tidak dapat tempat. Kalau di blok F lantai 7, siapa yang mau beli? Nyamuk?” ujarnya getir.
Elmi Tanjung (46), yang menjual sarung bantal, juga kecewa karena tak kebagian tempat di JPM. Pendapatannya tergerus karena jumlah calon pembeli yang turun trotoar memilih lewat JPM. Sudah begitu, ia masih harus main petak umpat dengan anggota Satpol PP.
”Sekarang saya cuma dapat Rp 300.000 sehari, belum kepotong biaya operasional. Padahal, saya punya anak empat. Kami di sini cuma mau cari makan, bukan bikin kerusuhan. Biarlah kami dagang di trotoar,” katanya.
Beberapa PKL adalah pemain lama yang baru kembali. Zaenal (53), misalnya, kembali berdagang di trotoar sejak tiga bulan lalu setelah kiosnya di Thamrin City yang dibuka pada 2015 merugi. Pengunjung kios semakin sepi, sedangkan sewa semakin mahal dari tahun ke tahun. Awalnya Rp 4,5 juta per bulan, lalu naik menjadi Rp 6 juta.
”Awalnya berdagang di mal menjanjikan. Namun, lambat laun, pelanggan sepi. Karena tekor terus, saya kembali jadi PKL. Setidaknya bisa dapat untung untuk makan anak dan istri,” ujarnya.
Adanya PKL Tanah Abang juga disebabkan permintaan masyarakat. Eva (36), salah satu pembeli, bisa berjalan sambil melihat-lihat barang dagangan. ”Kalau kebetulan ada barang bagus, ya, saya beli. Saya juga tidak merasa terganggu, trotoar cukup luas dan nyaman,” kata Eva.
Pembeli suka belanja di trotoar karena lebih praktis. Dia tidak perlu jauh-jauh menelusuri kios-kios di Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan barang yang diinginkan. ”PKL mudah diakses. Turun dari angkot, langsung ketemu barangnya,” katanya.
Barang-barang yang dijual PKL juga lebih murah bagi Fitri. Contohnya, harga baju gamis di PKL berkisar Rp 125.000-Rp 150.000, sedangkan di Blok A Pasar Tanah Abang sekitar Rp 250.000 dengan bahan dan kualitas yang sama.
Ada gula ada semut, ada keramaian ada PKL. Namun, PKL terus berdatangan saat ”gula” di Tanah Abang semakin sedikit. Berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional pada Maret 2016, pengeluaran per kapita warga DKI Jakarta untuk pakaian, alas kaki, dan tutup kepala setiap bulan Rp 49.957. Setelah naik ke Rp 52.380 di periode yang sama pada 2017, pengeluaran warga Ibu Kota untuk mode turun ke Rp 48.437.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, jumlah pedagang pakaian jadi di Pasar Tanah Abang sudah terlalu banyak. Jenis komoditas yang dijual pun sama sehingga persaingan antarpedagang semakin ketat.
Kegagalan mengatur
Sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara dan ekspor industri pakaian muslim terbesar di dunia (Kompas, 14 Agustus 2013), Pasar Tanah Abang memiliki tujuh blok bangunan untuk menampung pedagang pakaian jadi. Semua itu masih menyisakan ribuan PKL yang memadati gang-gang sempit, trotoar, dan badan jalan. Akibatnya, timbul kemacetan parah dan tak terpenuhinya hak pejalan kaki.
Pada Agustus 2013, Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta merelokasi 968 PKL ke lantai 2 dan 3 blok G. Padahal, jumlah PKL yang terdata hanya 785 orang. Hanya berjalan lima bulan, para PKL kembali ke trotoar dan jalan karena terus merugi, meninggalkan kios-kios yang kini mangkrak.
Desember 2018, di bawah Gubernur Anies Baswedan, JPM Tanah Abang selesai dibangun bersama 446 kios di atasnya untuk relokasi PKL dari trotoar Jalan Jati Baru Raya. Sekitar 200 PKL lain yang terdata oleh pemerintah akan ditempatkan di lantai 7 blok F.
PKL tidak ingin mengulangi kisah pahit saat menempati blok G dengan menolak pindah ke blok F lantai 7. Sebab, tak ada akses langsung dari JPM menuju ke sana. Akhirnya, trotoar terus menjadi lapak dagangan pedagang.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan, panduan tata kota (urban design guidelines/UDGL) Jakarta kerap melupakan aktor-aktor informal, seperti PKL. Keberadaan PKL perlu diakui secara legal melalui pendataan.
”Kalau sudah diakui, baru bisa bicara aturan main, yaitu pengaturan tempat, jam, dan hari jualan di trotoar sehingga mereka bisa menjadi polisi bagi diri sendiri. Ini sudah terbukti di beberapa kawasan, seperti Sunda Kelapa (Jakarta Pusat), Ancol, dan Muara Angke (Jakarta Utara). PKL mau berdagang tanpa dikejar-kejar satpol PP,” kata Elisa.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta mengatakan, sah saja menyisihkan sebagian ruang di trotoar untuk PKL asalkan ada aturan yang jelas. ”Misalnya, hanya boleh pakai ruang selebar 2 meter jika lebar trotoar 4 meter, harus menghadap dalam trotoar dan hanya boleh melayani pejalan kaki,” katanya.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan tidak melarang usaha kecil formal untuk berjualan di trotoar. Sementara itu, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 10/2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima mewajibkan pemerintah kota mendata dan menata PKL.
Di lain pihak, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUMKM) DKI Jakarta Adi Adiantara mengatakan, Tanah Abang sangat padat karena fungsinya sebagai lokasi penghubung kereta rel listrik dengan bus, angkot, serta pusat perbelanjaan. Keberadaan para PKL yang menyongsong arus penumpang menyebabkan kemacetan di jalan umum sehingga harus direlokasi.
”Pemindahan ke JPM tidak mengubah pola berjualan PKL karena para penumpang kereta bisa melihat dagangan mereka. Bedanya, mereka naik satu lantai sehingga lalu lintas lancar,” kata Adi.
Ia menambahkan, pendataan PKL pun sudah dilakukan. Sebanyak 233 lokasi sementara bagi 7.843 PKL tersebar di DKI Jakarta, kecuali Kepulauan Seribu. Jam berjualan juga telah diatur. Namun, tidak ada lokasi sementara di area Tanah Abang karena kepadatannya. PKL yang berdagang di luar wilayah dan waktu yang telah disepakati akan dianggap liar dan ditertibkan satpol PP sesuai Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum.
Masalahnya, jumlah PKL sulit dikontrol. Menurut Adi, produk domestik regional bruto Jakarta sebesar Rp 2.410,37 triliun atau 17 persen PDB nasional pada 2017 sesuai data Badan Pusat Statistik akan terus menarik PKL dari sejumlah daerah. Kebijakan yang tepat untuk menata PKL tanpa mengganggu pejalan kaki dan lalu lintas semakin mendesak.
”Kalau sudah masalah fasilitas, kita juga harus menghargai penduduk Jakarta lainnya yang juga bayar pajak, termasuk mereka yang difabel (dalam menggunakan trotoar). Untuk sementara, yang bisa kami beri kepastian berdagang adalah PKL yang sudah terdata dan tertib di lokasi sementara. Saya juga belum tahu apa yang harus diperbuat saat PKL semakin banyak, tetapi pemerintah akan mencari lokasi sementara baru,” kata Adi.
Penataan PKL di Pasar Tanah Abang memang bukan masalah baru. Namun, diperlukan solusi yang inovatif untuk meneyelesaikannya. Sejauh ini, solusi yang dimaksud masih menjadi tanda tanya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI/YOLA SASTRA)