JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen mengelola utang secara hati-hati menyusul peringatan dari Dana Moneter Internasional (IMF) terkait potensi peningkatan beban utang dan pengetatan likuiditas global. Pemerintah berupaya menjaga rasio utang tetap aman pada level 30 persen dari produk domestik bruto.
Menjelang pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos-Klosters, Swiss, Selasa (22/1/2019), IMF mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Pada 2020, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan 3,6 persen.
Koreksi perekonomian global ini disebabkan kebijakan proteksionisme, pengetatan keuangan, dan peningkatan beban utang di beberapa negara. Negara yang memiliki beban utang tinggi dan kondisi likuiditas yang ketat diimbau meningkatkan inklusivitas serta memperkuat penyangga fiskal.
Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia tidak termasuk negara yang disorot IMF terkait utang. Sebab, pertumbuhan ekonomi terjaga pada level 5 persen dan defisit anggaran di bawah 2 persen. Rasio utang juga masih di kisaran 30 persen produk domestik bruto (PDB).
”Untuk standar internasional, rasio utang Indonesia rendah sekali. Hal itu tecermin dalam defisit anggaran tahun 2018 yang sebesar 1,76 persen,” kata Sri Mulyani seusai bincang seputar perekonomian Indonesia bersama media di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Menurut Sri Mulyani, peringatan dari IMF lebih ditujukan kepada negara ekonomi maju, seperti Eropa, yang rasio utangnya 60-80 persen PDB. Mereka diminta melakukan konsolidasi fiskal agar tekanan terhadap perekonomian domestik tidak terlalu besar. Peringatan IMF juga untuk 40 negara pendapatan rendah yang memiliki rasio utang di atas 100 persen PDB.
Data Bank Indonesia, utang luar negeri pemerintah per Oktober 2018 sebesar 175,352 miliar dollar AS. Berdasarkan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa, yang sebesar Rp 14.221 per dollar AS, utang itu setara Rp 2.493,68 triliun.
Adapun pembiayaan utang dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun atau lebih rendah daripada realisasi APBN 2018 sebesar Rp 366,7 triliun. Pada 2017, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 429,1 triliun.
Kebutuhan pembiayaan utang tahun ini akan dipenuhi melalui lelang SBN dan surat berharga syariah negara (SBSN), masing-masing 24 kali. Dalam APBN 2019, target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN neto sebesar Rp 388,96 triliun.
Anggaran terbatas
Sri Mulyani menyebutkan, pemerintah harus menarik utang setiap tahun karena penerimaan APBN belum cukup untuk membiayai target pembangunan infrastruktur. Meski demikian, pembiayaan utang yang setiap tahun sekitar Rp 300 triliun tetap berkontribusi terhadap PDB sehingga risiko gagal bayar sangat kecil.
Pembangunan infrastruktur yang dibiayai dari utang, misalnya, kereta lintas rel terpadu (LRT) dan satelit Palapa Ring. ”Satelit kalau tidak dibangun melalui pembiayaan (utang) butuh waktu 15 tahun, sekarang hanya 2,5 tahun. Kalau kita tunggu, revolusi industri bukan lagi 4.0, bisa jadi sudah 5.0. Kita makin tertinggal,” tutur Sri Mulyani.
Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berpendapat, kehati-hatian pemerintah jangan sebatas pengelolaan utang. Penurunan harga komoditas global akan berimbas pada penerimaan negara dan kinerja perdagangan. Berbagai ketidakpastian global mesti dihadapi dengan kekuatan fiskal dan pengelolaan APBN yang baik.