JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Tangerang menyiapkan rancangan peraturan wali kota untuk menugasi PT Tangerang Nusantara Global sebagai operator bus Trans-Kota Tangerang. Badan usaha milik daerah tersebut diproyeksikan mengelola empat trayek baru yang direncanakan mulai beroperasi pada pertengahan 2019 dengan total anggaran Rp 24 miliar.
Dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/1/2019), Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Tangerang, Banten, Syaiful Rohman mengatakan, penugasan kepada PT Tangerang Nusantara Global (TNG) dituangkan dalam peraturan wali kota (perwal) Tangerang yang diperkirakan dapat diberlakukan pada Februari 2019. Salah satu fitur penting yang terkandung dalam peraturan tersebut adalah anggaran operasional.
”Yang kini masih didiskusikan adalah apakah anggarannya akan dipegang oleh dishub. Berkaca dari Transjakarta, PT Transportasi Jakarta mengoperasikan bus, kemudian mengklaim (dana biaya operasional kendaraan/BOK) kepada Dishub DKI. Kemungkinan polanya akan sama dengan Transjakarta, dishub menyalurkan anggaran ke PT TNG,” tutur Syaiful.
Pada waktu yang sama, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang juga tengah menyusun perwal pembentukan empat trayek baru Trans-Kota Tangerang yang lebih populer disebut Trans-Tayo (Tangerang Ayo). Keempat trayek itu adalah Central Business District (CBD) Ciledug-Terminal Poris Plawad (Koridor 3), Pinang-Cipete-Terminal Poris Plawad (Koridor 4), Terminal Poris Plawad-Bandara Soekarno-Hatta (Koridor 5), dan Cadas-Bandara Soekarno-Hatta (Koridor 6). Pengelolaan keempat trayek ini akan diserahkan kepada PT TNG.
Dana sebesar Rp 24 miliar pun telah disepakati dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) 2019. Dana tersebut ditujukan untuk memenuhi semua kebutuhan pelayanan bus, mulai dari pembangunan halte hingga penyerapan sumber daya manusia.
”Pengadaan bus nanti bisa kerja sama dengan pihak ketiga. PT TNG bisa langsung menjalin kerja sama dengan operator bus setelah menerima penugasan sesuai perwal,” ujar Syaiful.
Direktur Utama PT TNG Nanang Hernawan menyatakan siap menerima tugas jika perwal sudah jadi. Saat ini, ada beberapa hal yang perlu diperjelas dengan perwal, seperti penyertaan modal, status kepemilikan sarana dan prasarana, mekanisme pembayaran BOK, dan tarif.
”Saya lebih suka bus dan halte dimasukkan dalam penyertaan modal menjadi aset BUMD. Namun, hal itu butuh peraturan daerah (perda) yang harus disetujui DPRD. Kami belum tahu, saat mulai beroperasi, apakah harus sewa halte? Pertanggungjawaban penggunaan bus juga seperti apa? Pada prinsipnya, kami masih menunggu, tetapi siap,” kata Nanang.
Selagi menunggu, PT TNG berkomunikasi dengan AINO, perusahaan penyedia mesin pembayaran elektronik, serta beberapa bank, seperti BNI dan BJB. Nanang merencanakan layanan Trans-Tayo dibayar dengan kartu uang elektronik.
Di dua koridor yang beroperasi saat ini, biaya layanan Trans-Tayo sebesar Rp 2.000 dibayar secara tunai kepada sopir. Penumpang akan mendapat karcis.
Saat ini, Trans-Tayo melayani perjalanan di dua trayek, yaitu Terminal Poris Plawad-Jatiuwung (Koridor 1) sepanjang 32,5 kilometer dan Terminal Poris Plawad-Cibodas (Koridor 2) sepanjang 23,5 km. Masing-masing diisi 10 bus yang bercampur dengan kendaraan lainnya di jalan karena tidak ada jalur khusus bus.
PT Tiara Perkasa Mobil menjadi operator kedua trayek tersebut hingga akhir 2019 dengan nilai kontrak Rp 6,06 miliar di Koridor 1 dan Rp 5,98 miliar di Koridor 2. Setiap tahun, pengelola kedua trayek itu dipilih melalui lelang. Syaiful mengatakan, tidak tertutup kemungkinan PT TNG mengambil alih pengelolaan Koridor 1 dan 2.
Di lain pihak, direktur Utama PT Tiara Perkasa Mobil Eddi Faizal berharap perusahaannya diberi kesempatan untuk terus menjadi operator di kedua trayek tersebut. Pihaknya telah menginvestasikan Rp 8,3 miliar untuk pengadaan kesepuluh bus di Koridor 2 sejak Juni 2018. Jika pengelolaan diambil alih perusahaan lain, kata Eddi, pelayanan publik akan terganggu karena perusahaan baru harus mengadakan bus mereka sendiri.
Profesional
Selama 2018, pemkot Tangerang mengucurkan dana BOK sebesar Rp 7,3 miliar untuk pelayanan Trans-Tayo di dua trayek yang dikelola PT Tiara Perkasa Mobil. Adapun retribusi ke kas daerah dari sekitar 323.535 penumpang Trans-Tayo selama setahun sekitar Rp 600 juta. Syaiful mengatakan, hal ini cukup wajar.
”Pemkot mengutamakan pelayanan masyarakat daripada keuntungan. Sebab, namanya pengelolaan transportasi enggak akan ada yang untung,” katanya. Ia pun berharap pelimpahan tugas kepada BUMD, seperti Transjakarta yang dikelola PT Transportasi Jakarta, dapat menghadirkan pelayanan yang lebih profesional bagi warga kota.
Peneliti Institute for Transportation Development and Policy (ITDP), Yoga Adiwinarto, mengatakan, pelayanan yang profesional di kota sekecil Tangerang tidak harus bergantung pada BUMD. Unit pelaksana teknis (UPT) Angkutan Massal Dishub Kota Tangerang yang berhubungan langsung dengan BUMD harus mengemban tugas menjadikan program angkutan umum sebagai prioritas daerah. Umumnya, proyek prioritas di kota yang relatif kecil adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan.
Ia mencontohkan, Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) di Bogor yang berbentuk BUMD gagal menjalankan tugas sebagai operator Trans-Pakuan karena tidak mendapatkan modal. PLT Direktur Utama PDJT Endang Suherma mengatakan, tidak ada biaya perawatan dan balik nama bus (Kompas, 22 Januari 2019).
”Menurut saya, pembentukan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) akan lebih tepat karena banyak fleksibilitas dalam pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan keuangan. BLUD juga berkewenangan membuat tata cara pengelolaan sendiri. Contohnya, BLUD pengelola Trans-Semarang yang boleh membuat kontrak langsung tujuh tahun dengan operator. Transjakarta pada 2009 juga dikelola BLUD,” kata Yoga.
Yoga mengatakan, selama ini, Kementerian Perhubungan hanya menghibahkan bus kepada pemerintah daerah tanpa memberikan pembinaan pengelolaan. Pilihan bentuk lembaga pengelola pun akan menentukan berbagai hal, seperti penyaluran subsidi, pengelolaan keuangan, perekrutan karyawan, dan sebagainya. (KRISTIAN OKA)