Pengawasan Penggunaan Senjata Api oleh Warga Sipil Masih Lemah
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menemukan beberapa potensi maladministrasi dalam proses perizinan senjata api nonorganik untuk kepentingan bela diri bagi masyarakat sipil. Tidak hanya dalam proses perizinan, pengawasan dan pengendalian penggunaan senjata api tersebut juga lemah.
Ombudsman sebelumnya berinisiatif melakukan kajian sistematis, mulai Mei 2018 hingga Januari 2019. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Kepolisian Negara RI (Polri), Kepolisian daerah (Polda) Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda Metro Jaya, dan Polda Sulawesi Selatan.
”Layanan perizinan dan pengawasan kepemilikan senjata api untuk masyarakat sipil oleh kepolisian tidak terlalu populer. Makanya, kami berinisiatif melakukan kajian, bukan berangkat dari kasus atau laporan,” kata Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Ombudsman kemudian menemukan setidaknya tiga potensi maladministrasi dari hasil tinjauannya. Pertama, potensi itu ada pada tahap permohonan izin baru atau perpanjangan kepemilikan senjata api nonorganik. Selama ini, pembayaran proses perizinan tersebut dilakukan dengan pembayaran secara tunai melalui petugas di loket.
”Dalam proses itu ada potensi petugas meminta uang lebih atau menjanjikan macam-macam. Kami pun merekomendasikan agar pelayanan pembayaran ini dilakukan secara nontunai,” ujarnya.
Potensi maladministrasi berikutnya ditemukan dalam proses perpanjangan izin. Saat mengajukan perpanjangan, masyarakat sipil harus kembali melakukan tes menembak, tes kesehatan, dan tes psikologi seperti saat mengajukan izin pertama kali.
Pengawasan polisi terhadap izin senjata api nonorganik yang telah habis masa berlakunya juga lemah. Kepolisian terkadang sulit mencari posisi terakhir senjata itu ketika pemiliknya pindah alamat tanpa sepengetahuan polisi.
Pengawasan polisi terhadap izin senjata api nonorganik yang telah habis masa berlakunya juga lemah. Kepolisian terkadang sulit mencari posisi terakhir senjata itu ketika pemiliknya pindah alamat.
Temuan terakhir, tidak semua polda memiliki gudang untuk penyimpanan senjata sebagai bentuk tindakan pengendalian senjata api yang telah habis masa berlakunya. Pada temuan Ombudsman RI, Polda Sulawesi Selatan belum memiliki gudang tersebut karena adanya keterbatasan ruangan.
Revisi peraturan
Irwil III Itwasum Polri Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Suharno dari Inspektorat Pengawasan Umum Polri mengatakan, temuan tersebut baik agar Polri berbenah diri. ”Kami mengakui memang ada kelemahan. Masukan ini akan kami teruskan, baik ke pimpinan di pusat maupun daerah,” tuturnya yang hadir dalam konferensi tersebut.
Bambang mengatakan, pihaknya akan mendorong perbaikan pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 18 Tahun 2015. Perkap tersebut mengatur tentang Perizinan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non-Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia untuk Kepentingan Bela Diri.
Perkap tersebut antara lain belum mengatur secara rinci mengenai jangka waktu dan standar operasional pelayanan. Selama ini, jangka waktu proses perizinan tidak jelas diatur karena tanda tangan rekomendasi harus dilakukan oleh Direktorat Intelijen Keamanan Polri dan tidak dapat diwakilkan.
Dalam hal ini, Ombudsman RI memberikan opsi perubahan, khususnya mengenai komponen standar pelayanan agar menyesuaikan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Prosedur pemberian izin senjata api nonorganik, yang terdiri dari senjata api peluru tajam, peluru karet, dan peluru gas, tergolong panjang. Proses ini dimulai dari penerbitan surat saran oleh polres, rekomendasi kapolda, dan izin kepemilikan senjata api diterbitkan oleh Mabes Polri.
Akses penggunaan senjata api nonorganik saat ini diberikan kepada pejabat pemerintah, pejabat swasta, pejabat TNI/Polri, purnawirawan TNI/Polri, dan pejabat di profesi tertentu, seperti advokat dan dokter.
Akses penggunaan senjata api nonorganik saat ini diberikan kepada pejabat pemerintah, pejabat swasta, pejabat TNI/Polri, purnawirawan TNI/Polri, dan pejabat di profesi tertentu, seperti advokat dan dokter.
Berdasarkan data Baintelkam Polri, saat ini 3.000 izin penggunaan senjata api nonorganik dipegang masyarakat sipil, yang paling banyak oleh pejabat swasta. Masyarakat sipil hanya boleh menggunakan senjata berkaliber 22 milimeter atau 32 milimeter.
Tanggung jawab
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil masih lemah dari sisi mekanisme akuntabilitas atau terkait tanggung jawab.
”Dari pengamatan kami, hal itu memang terlihat lemah, baik saat proses perizinan, pengawasan, hingga penggunaan maupun perpanjangan izin. Kelemahan ini bahkan dapat ditemui pada kasus penggunaan senjata api oleh aparat keamanan dan penegak hukum sendiri,” ujarnya saat dihubungi hari ini.
Ia juga menilai, sampai saat ini belum ada proses keterbukaan atas penggunaan dan penyalahgunaan senjata api melalui mekanisme peradilan umum. ”Padahal, itu sangat penting untuk mengontrol penggunaan senjata api dan mencegah dampak negatifnya di masyarakat,” ucapnya. (ERIKA KURNIA)