Keamanan dan kenyamanan pejalan kaki belum menjadi prioritas. Pelebaran trotoar belum cukup karena penyalahgunaan trotoar masih terjadi.
Oleh
Irene Sarwindaningrum/Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Keamanan dan kenyamanan pejalan kaki belum menjadi prioritas. Pelebaran trotoar belum cukup karena penyalahgunaan trotoar masih terjadi.
JAKARTA, KOMPAS Hari ini, 22 Januari, merupakan hari pejalan kaki. Tanggal ini dipilih bersamaan dengan tabrakan maut di Jalan MI Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, tahun 2012. Saat itu, 12 pejalan kaki ditabrak mobil. Sembilan orang di antaranya meninggal.
Di lokasi kejadian, kala itu, tinggi trotoar hampir rata dengan aspal jalan. Ini memudahkan mobil—apalagi dengan kecepatan tinggi—naik ke trotoar dan membahayakan pejalan kaki. Tabrakan ini membuat penataan trotoar di Jakarta mulai ditingkatkan.
Sayangnya, penataan trotoar di DKI Jakarta dinilai baru sebatas peningkatan infrastruktur dan belum dibarengi penegakan aturan masih kuat. Akibatnya, kendati trotoar sudah baik namun pelanggaran penggunaan trotoar masih terus dibiarkan sehingga fungsi trotoar tak maksimal. Ketegasan terhadap pelanggaran di trotoar dinilai semakin vital menjelang beroperasinya moda-moda transportasi massal baru.
Pelanggaran penggunaan trotoar masih terlihat di berbagai kawasan, mulai dari pedagang kaki lima (PKL), parkir kendaraan hingga sepeda motor yang melintas di trotoar.
Dari pengamatan, baru sebagian kecil trotoar yang relatif bersih dari pelanggaran, seperti di Jalan Sudirman-MH Thamrin, Jalan Kebon Sirih, dan seputar Gelora Bung Karno.
Peneliti Transportasi Institute Studi Transportasi (Instrans) Deddy Herlambang mengatakan, indikator lemahnya penegakan aturan ini salah satunya terlihat dari perlawanan PKL saat Satpol PP Jakarta Pusat berusaha menertibkan di Tanah Abang. Hingga sekarang, trotoar di Tanah Abang masih dipadati PKL.
Padahal, trotoar di Tanah Abang tergolong baru selesai ditata dan diperlebar menjadi sekitar lima meter. “Jadi baru sekadar ditata dan diperlebar, juga sudah ditertibkan tapi juga baru sekadarnya. Namun setelah itu percuma, seperti dibiarkan mau diapakan. Belum ada komitmen berkelanjutan untuk berpihak pada pejalan kaki dan pengguna jalan tanpa kendaraan bermotor,” kata dia di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Kondisi trotoar yang belum sepenuhnya aman dan nyaman merupakan salah satu faktor penyebab volume pejalan kaki di trotoar tetap sedikit dibandingkan kapasitas seharusnya.
Penegakan aturan di trotoar dinilai semakin mendesak terutama dalam beberapa bulan lagi, Jakarta akan mempunyai dua moda transportasi massal baru, yaitu MRT dan LRT. “Kalau aksesibilitas trotoar tak dibuat maksimal, maka MRT dan LRT juga tak akan maksimal fungsinya,” kata Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki.
Alfred mengusulkan pengawasan diperketat dengan CCTV yang dapat langsung mencatat kendaraan yang melewati trotoar serta menempatkan personel khusus untuk mencegah pelanggaran di trotoar.
Menurut Alfred, saat ini aksesibilitas pejalan kaki untuk mencapai moda transportasi massal masih banyak yang diperbaiki. Di simpul Stasiun Sudirman, Stasiun MRT Dukuh Atas dan Halte Transjakarta Karet, misalnya, seharusnya bisa ditingkatkan dengan memperbaiki trotoar di sekitarnya.
“Termasuk juga jembatan penyeberangan orang Karet yang kondisinya sudah overload, sempit dan curam,” katanya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, perbaikan fasilitas pejalan kaki merupakan prioritas Pemprov DKI Jakarta.
Selama tiga tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta telah menata 108 km trotoar, berupa pelebaran dan pelengkapan fasilitas yang membuat pejalan kaki aman dan nyaman.
Tahun 2019, Pemprov DKI Jakarta kembali menganggarkan pembangunan trotoar senilai Rp 733,71 miliar.
Menurut Hari, untuk mencegah sepeda motor naik ke trotoar, penghalang seperti bolard dipasang di trotoar. Pihaknya juga merencanakan pemasangan CCTV untuk mengawasi dan menindak kendaraan yang melanggar naik ke trotoar.
Trotoar terpotong
Alfred juga menyoroti masih minimnya kondisi trotoar di sekitar Stasiun MRT Lebak Bulus. Trotoar di sana masih terputus serta kondisi yang kurang memadai di sejumlah ruas.
Dengan kondisi ini, keberadaan MRT tak maksimal dalam mengalihkan pemukim di Tangerang Selatan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ke Jakarta.
Kondisi serupa ditemukan di Kota Bekasi. Fergi Nadira (25), warga Bekasi Utara, Kota Bekasi, tidak pernah merasa aman saat berjalan kaki karena sebagian besar jalur pejalan kaki habis di tengah jalan, dan langsung tersambung ke jalan raya.
Setiap hari, pekerja di Jakarta ini berjalan kaki sekitar 3 kilometer dari rumah menuju Stasiun Bekasi dan sebaliknya. Namun, trotoar hanya ada di sekitar Stasiun Bekasi dan kompleks Summarecon Bekasi yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Di permukiman, sudah tidak ada jalur pejalan kaki. “Ternyata mendebarkan karena tidak ada trotoar sama sekali,” kata dia.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Yayan Yuliana mengakui trotoar belum ada di seluruh penjuru kota. Pembangunannya terbatas pada jalan arteri primer.