Penyelenggara Pemilu Perlu Tingkatkan Kepercayaan Masyarakat
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat ini masih terdapat masyarakat yang menyatakan ketidakpercayaannya terhadap lembaga penyelenggara pemilihan umum. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu perlu memperbaiki kinerja dengan meningkatkan kemampuan teknis dan komunikasi politik agar tingkat kepercayaan masyarakat semakin tinggi.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu tercermin dari survei yang dilakukan Founding Fathers House (FFH) dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri, Selasa (22/1/2019) di Jakarta. Riset tersebut dilaksanakan pada Agustus-Desember 2018 di enam provinsi, antara lain, Sumatera Barat, Riau, DI Yogyakarta, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat dengan responden sebanyak 600 mahasiswa.
Hasil riset menunjukkan, meski tidak besar, masih ada responden yang menyatakan ketidakpercayaannya terhadap tiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pada pilihan sangat percaya dan percaya, KPU mendapat 59,96 persen responden, Bawaslu 55,93 persen, dan DKPP 52,85. Sedangkan pada pilihan tidak percaya dan sangat tidak percaya, KPU mendapat 25,96 persen responden, Bawaslu 27,48 persen, dan DKPP 26,6 persen.
"Para penyelenggara harus siaga untuk sejumlah isu publik krusial. Jangan sampai terlambat menyikapinya, wajah penyelenggara akan menjadi tidak baik di mata publik," ujar peneliti FFH, Dian Permana dalam Diskusi Citra Lembaga Penyelenggara Pemilu di Mata Publik di Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Dian menjelaskan, ketidakpercayaan masyarakat dilatarbelakangi oleh banyaknya ujian yang bersifat internal dan eksternal kepada penyelenggara pemilu.
Ujian dari internal tersebut antara lain, kasus operasi tangan tangan (OTT) Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Garut, terlambatnya pemilihan komisioner baru di sejumlah daerah, hingga urusan teknik komunikasi lambannya merespon sejumlah isu publik. Adapun ujian dari eksternal yakni beredarnya kabar bohong tujuh kontainer kotak suara yang telah tercoblos.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengungkapkan, sejumlah ancaman yang dapat menurunkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu berpotensi muncul pada Pemilu 2019. Salah satunya, penyelenggara pemilu akan dihadapkan dengan ancaman banyaknya surat suara tidak sah.
Menurut dia, potensi banyaknya surat suara tidak sah pada Pemilu 2019 tidak terlepas dari kerumitan mekanisme pemilu yang dilakukan secara serentak dan DPT yang juga mengalami kenaikan dibandingkan Pemilu 2014 lalu. Pada Pemilu 2019, KPU menetapkan DPT sebanyak 192.828.520 orang. Sedangkan DPT Pemilu 2014 berjumlah 185.826.024 orang.
Oleh karena itu, agar menurunkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat, kata August, penyelenggara pemilu perlu memperbaiki kinerja dengan meningkatkan kemampuan teknis dan komunikasi politik agar tingkat kepercayaan masyarakat semakin tinggi.
Anggota DKPP Alfitra Salamm menduga, ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu juga berpengaruh terhadap rendahnya peran aktif masyarakat dalam menjaga dan mengawasi jalannya pemilu di Indonesia.
Untuk meningkatkan peran masyarakat, kata Alfitra, saat ini DKPP telah melakukan pendidikan etik untuk mahasiswa di Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Hal ini untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa terkait tugas pokok dan fungsi DKPP hingga cara pelaporan kode etik penyelenggara pemilu.
Dia berharap, melalui pendidikan ini akan muncul duta-duta pengadu potensi pelanggaran etik sehingga menurunkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu.