JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengumumkan pelelangan aset para terpidana korupsi dengan nilai yang cukup besar di awal 2019. Namun, upaya mengembalikan kerugian negara akibat praktik korupsi sebagai bentuk penegakan hukum itu dinilai belum maksimal.
Setidaknya sejumlah aset tanah dan bangunan senilai total Rp 3,9 miliar lebih yang disita dari Agus Supriadi, Bupati Garut periode 2004-2009, terpidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Garut, Jawa Barat, akan segera dilelang. Aset yang akan dilelang itu meliputi tanah seluas 1.350 meter persegi beserta vila di Cireungi, Jawa Barat, dan sebidang tanah seluas 6.600 meter persegi.
Sebelumnya, Sabtu (19/1/2019), KPK juga melelang barang rampasan milik terpidana Luthfi Hasan, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam perkara korupsi kuota impor sapi oleh Ahmad Fathanah. Barang rampasan berupa tanah seluas total 11.360 meter persegi di Kabupaten Bogor dilelang Rp 1.051.000.000 atau lebih tinggi dari harga limit Rp 926.295.000. Hasil lelang tersebut secara otomatis masuk ke kas negara.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Senin (21/1/2019), mengatakan, lelang barang rampasan ini merupakan bagian dari proses penindakan perkara korupsi yang dilakukan KPK dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan menghasilkan putusan berkekuatan hukum tetap.
”Seluruh proses penindakan hingga lelang barang rampasan merupakan upaya memaksimalkan asset recovery atau pemulihan aset negara. Ini agar uang atau barang yang pernah diambil oleh para pelaku korupsi kembali ke masyarakat melalui mekanisme keuangan negara,” katanya.
Belum maksimal
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan berpendapat, pengembalian kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi penting dilakukan sebagai agenda pemberantasan korupsi. Namun, upaya penegak hukum mengembalikan kerugian tersebut masih terseok-seok.
ICW mencatat, pada 2017 nilai pengembalian kerugian kepada negara dari keseluruhan kejahatan korupsi hanya Rp 1,4 triliun dari total kerugian sebesar Rp 29,4 triliun. Artinya, kira-kira baru 4 persen usaha pengembalian kerugian negara dalam memberantas korupsi dapat dilakukan.
”Menurut fakta dan datanya demikian. Itu belum dihitung biaya penanganan perkara. Lalu, gaji aparatur penegak hukum dan biaya operasional mereka. Dari yang mereka sita juga tidak cukup,” ucapnya saat dihubungi Selasa (22/1/2019).
Agar perampasan aset korupsi maksimal, ia mengingatkan kembali agar penegak hukum menggunakan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pelaku korupsi.
”Data menunjukkan, aparat penegak hukum sangat jarang memakai UU TPPU. Dengan itu, kita bisa menggunakan pembalikan beban pembuktian secara terbatas,” ujarnya.
Pembalikan beban pembuktian secara terbatas dapat dilihat dalam Pasal 37 Ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 37A Ayat 3 UU Tipikor. Hal ini menyatakan, terdakwa berhak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak, serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Adapun contoh kasus penerapan UU TPPU pernah diterapkan pada mantan Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin. Dari dakwaan tindak pidana pencucian uang pada periode 2003-2014 sekitar Rp 200 miliar, KPK dapat menarik total Rp 400 miliar ke kas negara.
Uang tersebut didapatkan dari penyitaan puluhan tanah dan properti, surat berharga, barang-barang elektronik, kendaraan, hingga uang tunai dari rekening yang diblokir. (ERIKA KURNIA)