JAKARTA, KOMPAS — Pengungkapan 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal asal Papua membuka sejumlah kelemahan dalam sistem verifikasi legalitas kayu yang selama ini dibanggakan Indonesia. Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini sedang berupaya memperbaiki sistem itu agar tetap kredibel.
Selain penyitaan sejumlah besar kayu ilegal tersebut oleh Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hasil investigasi Yayasan Auriga Nusantara pun menunjukkan sejumlah kelemahan SVLK di lapangan. Hal itu di antaranya berupa dacode yang bisa dipakai berulang sehingga ”mencuci” kayu ilegal menjadi seolah kayu legal.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Selasa (22/1/2019) di Jakarta, mengatakan, pihaknya sedang menyelesaikan perbaikan atas SVLK tersebut. Terkait poin-poin perbaikan, ia mengatakan di antaranya pada sistem pendaftaran.
”Sipuhh (sistem penatausahaan hasil hutan) online itu harus disempurnakan. Ada problem di situ terkait bagaimana cara mendapatkan password, pengaturan sistem, lalu bagaimana sertifikasi, dan monitor independen terhadap perusahaan yang menggunakannya,” kata Siti Nurbaya.
Selain itu, katanya, pihaknya juga mengamati relasi perusahaan-perusahaan atau industri itu terhadap masyarakat adat. Ia berharap dalam waktu dekat perbaikan—bahkan penguatan—SVLK ini bisa segera selesai.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan siap memberikan masukan kepada KLHK terkait penguatan SVLK. Menurut dia, secara umum SVLK telah berjalan baik dan memberikan manfaat bagi pelaku usaha kehutanan.
Sebagai sebuah sistem, SVLK telah mengalami beberapa kali perubahan yang mengarah pada perbaikan. Terkait perbaikan SVLK yang sedang dikerjakan KLHK saat ini, ia berharap pemerintah memasukkan kriteria-kriteria pembalakan berkelanjutan/ramah lingkungan.
”Salah satunya soal reduce impact logging (RIL) yang akan mengurangi limbah hutan dan memitigasi perubahan iklim. Ini praktik baik tapi belum masuk indikator SVLK,” katanya.
Salah satunya soal reduce impact logging (RIL) yang akan mengurangi limbah hutan dan memitigasi perubahan iklim. Ini praktik baik, tetapi belum masuk indikator SVLK.
Terkait kasus pembalakan di Papua, ia enggan banyak berkomentar karena belum pernah diajak bicara oleh KLHK. Namun, ia melihat fenomena masih membanjirinya kayu ilegal dari Papua menunjukkan ada pelaku di lapangan belum menjalankan sistem secara penuh. ”Saya yakin, ketika sistem dijalankan penuh, tidak akan ada kegiatan illegal logging,” katanya.
Audit industri
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Hilman Nugroho mengatakan akan melakukan kembali audit di Papua. ”Nanti kami cek dari HPH ke industri-industri, kita lihat rendemennya. Di situ kelihatan (kecurangan industri),” katanya.
Terkait kontainer dari Papua itu, ia mengakui kayu ilegal bisa tercampur dengan kayu legal. Karena itu, ia meminta pengawasan diperketat.
Ditanya tentang sanksi bagi industri penadah ataupun pelaku pembalakan ilegal, ia mengatakan sedang mempelajarinya. Apabila industri telah mengantongi sertifikat legalitas kayu (SLK) dalam SVLK, pihaknya juga akan mengecek lembaga penerbit sertifikat atau auditor.
”Yang beri sertifikat itu lembaga independen yang telah diakreditasi kan. Nanti kalau mbleler nakal gitu kami cubit. Kami kasih tahu sampean kerja seperti itu. Kalau salahnya berat ya dicabut saja (akreditasinya),” katanya.
Sementara itu, soal pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat agar tak lagi menjadi sasaran industri pemburu kayu, ia siap menindaklanjutinya. ”Tentukan hutan adatnya dulu. Di gubernur (agar) di-perda-kan. (setelah itu) Nanti bisa ditindaklanjuti. Gampang itu nanti,” katanya.
Seperti diberitakan Kompas, 22 Januari 2019, temuan 384 kontainer berisi kayu merbau ilegal dari Papua di Surabaya dan Makassar menunjukkan perusahaan-perusahaan mengambil kayu bukan dari lokasi konsesinya. Kayu-kayu tersebut dipastikan berasal dari hutan-hutan masyarakat adat di pedalaman.
Sasaran pada hutan-hutan masyarakat dengan ”mencuci”-nya seolah-olah dari hutan konsesi ini ditemukan Yayasan Auriga Nusantara yang melakukan investigasi tahun lalu. Masyarakat hanya mendapatkan Rp 100.000-Rp 600.000 untuk setiap meter kubik kayu merbau yang diambil perusahaan dari hutan adatnya.
Pemprov Papua memberikan keberpihakan kepada masyarakat adat dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Papua No 13/2010 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPHHKMHA) di Provinsi Papua. Dengan dasar ini, sejumlah 18 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-masyarakat hukum adat seluas 78.040 ha.
Dasar Pergub tersebut adalah UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diterjemahkan dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Provinsi Papua. Namun hingga kini izin-izin tersebut tak bisa dijalankan karena model perizinan tersebut tak dikenal oleh pusat yang berpegangan pada UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pemerintah pusat hanya mengenal penerbitan oleh Menteri Kehutanan, kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, Kementerian Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK—menebar izin di belantara Papua dengan IUPHHK-Hutan Alam atau Hak Pengelolaan Hutan atau izin logging seluas 5.596.838 hektar (ha), pelepasan untuk sawit 1.256.153 ha, dan izin kebun tanaman kayu/IUPHHK-Hutan Tanaman Industri 524.675 ha. (SUCIPTO)