Praktik Terlarang pada Sepetak Trotoar (4)
Di tengah penertiban pedagang kaki lima di Tanah Abang, Jakarta Pusat, praktik sewa-menyewa trotoar terus berlangsung. Oknum preman setempat tak segan memungut sewa dan kutipan dari PKL, terutama pendatang baru. Mereka rela ”berjudi” demi mendapatkan satu tempat sebelum Ramadhan tiba.
Kisah sukses pedagang pakaian di kala Ramadhan menjadi madu bagi PKL baru di Tanah Abang. Tak sedikit pedagang yang terbuai dengan janji manis itu. Fadli (21), pedagang daster di trotoar Jalan Kebon Jati, seberang Pasar Blok G, Tanah Abang, salah seorang di antaranya.
Ditemui pada Rabu (16/1/2019), Fadli yakin bisa menyongsong Ramadhan tahun ini dengan meraup keuntungan lumayan. Kisah manis pedagang lain di Tanah Abang membuatnya semakin percaya diri. Sejak awal tahun, pemuda lulusan SMA itu merintis dagangan dengan bantuan ibu angkatnya. Sebelumnya, dia bekerja di toko pakaian salah seorang saudaranya di Pasar Senen.
Agar bisa menempati bagian sisi luar trotoar, Fadli harus merogoh kocek Rp 500.000 per bulan. Lahan itu hanya cukup untuk satu gantungan baju dengan panjang 1,5 meter, lebar 0,5 meter, dan tinggi 1,5 meter. ”Itu biaya sewa saja. Setiap hari ada kutipan Rp 10.000 dari pengurus,” kata Fadli.
Pengurus yang dimaksud Fadli adalah Bang Udin, preman setempat yang merangkap PKL. Bang Udin dibantu rekan-rekannya berkuasa di trotoar sepanjang 30 meter dan lebar 5 meter. Lokasi yang persis di bawah naungan koridor layang penghubung blok G dan F ini nyaris penuh oleh PKL.
Fadli mengaku tak keberatan membayar sewa trotoar meskipun paham situasi di trotoar sekitar Pasar Tanah Abang sedang ”panas”. Sebagaimana PKL lain, dia ikut kucing-kucingan dengan satpol PP yang menertibkan kawasan itu lima kali sehari. Namun, di bawah naungan Bang Udin, Fadli merasa sedikit lebih aman. ”Kalau ada razia, biasanya Bang Udin kasih tahu. Kalau barang saya disita, dia bisa membantu mengurusnya,” ujar Fadli.
Dalam seminggu terakhir, Bang Udin masih berjualan di sekitar trotoar yang dikuasainya. Namun, Kompas belum bisa kembali berbicara dengannya. Minggu (23/12/2018), Kompas sempat bertemu dengan Bang Udin. Pria berusia sekitar 35 tahun itu menawarkan lahan trotoar yang masih kosong kepada Kompas.
Kawasan trotoar pun terbagi dua dengan ubin kuning pemandu tunanetra menjadi pembatas. Trotoar bagian dalam arah ke kios resmi disewakan jangka panjang per enam bulan atau setahun. Karena jangka panjang, biaya sewa bisa disesuaikan, mulai dari Rp 5 juta per tahun dengan ukuran 1,5 meter x 1,5 meter.
Sementara itu, untuk trotoar bagian luar arah ke jalan raya dipatok Rp 800.000 dengan ukuran seluas gantungan baju seperti lapak Fadli. ”Bisa dinego. Kalau sanggupnya hanya Rp 600.000 tidak apa-apa, tetapi jangan bilang ke pedagang lain,” kata Udin.
Udin pun menjelaskan, trotoar yang dikelolanya lebih aman dibandingkan di trotoar Jalan Jati Baru Raya karena tidak banyak kutipan. Di trotoarnya, PKL hanya dikutip Rp 10.000 per hari. Adapun di tempat lain, PKL bisa dikutip puluhan kali dalam sehari dengan biaya bervariasi, paling rendah Rp 2.000.
Selain itu, penertiban PKL di trotoar Jalan Kebon Jati tidak sesering trotoar Jalan Jati Baru Raya karena lokasinya cukup jauh dari JPM. Andai pun pedagang sewaktu-waktu terjaring razia oleh satpol PP, Bang Udin mengklaim bisa membantu mengurusnya.
Meskipun menjadi pusat penertiban, trotoar Jalan Jati Baru Raya rupanya tak luput dipersewakan. Lokasi yang dipersewakan oleh preman setempat terbatas pada titik strategis saja, seperti di sekitar Stasiun Tanah Abang.
Harga sewa di bagian dalam trotoar sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Sementara itu, di trotoar bagian luar, lebih murah, yaitu Rp 1,5 juta per bulan. Bagian dalam trotoar dipatok lebih mahal karena jarang diusik oleh satpol PP.
Namun, ”perjudian” PKL di trotoar itu beberapa hari belakangan menuai rugi. Pedagang yang telanjur menyewa terpaksa gigit jari. Mereka tak menyangka penertiban satpol PP menjadi lebih ketat sejak Senin (14/1/2019) seiring dengan rencana peresmian JPM. Bahkan, PKL di bagian dalam trotoar yang sebelumnya tak tersentuh ikut diburu.
”Saya kira sehabis Tahun Baru 2019 penertiban lebih longgar. Preman pun mulai menagih-nagih saya, apalagi Lebaran tak lama lagi. Takut tempat ini diisi orang lain, saya bayar Rp 1 juta ke preman. Eh, baru tujuh hari ditempati, satpol PP semakin beringas. Uang terbenam, preman diam-diam saja,” kata Eni Chaniago (44), Minggu (21/1/2019).
Karena uangnya telanjur disetor ke preman, Eni nekat berjualan di sekitar trotoar yang disewanya. Padahal, lokasinya tak lebih dari tiga meter dari tenda kuning yang dijaga sejumlah anggota satpol PP. Namun, ketika tim penindak satpol PP beraksi, Eni terpaksa kucing-kucingan juga seperti pedagang lainnya. ”Kalau tidak begini, bisa dapat makan dari mana? Anak saya tiga, suami sudah pergi entah ke mana,” ujarnya.
Kompas belum mendapatkan jawaban terbaru dari Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko. Dalam tiga hari terakhir, Yani tidak dapat dihubungi. Namun, ketika terakhir kali ditanya terkait praktik ilegal sewa-menyewa trotoar ini, Yani membantah dengan ketus.
”Anda jangan mengada-ngada. Tunjukkan kepada saya siapa oknumnya. Trotoar itu untuk pejalan kaki, bukan PKL,” kata Yani ketika dihubungi, Minggu (23/12/2018).
Sementara itu, Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi, yang menangani penataan kawasan Tanah Abang, mengakui adanya relasi antara preman dan PKL. Preman berperan sebagai koordinator yang mendatangkan PKL baru ke Tanah Abang. ”Ada koordinator yang mendatangkan PKL, tetapi kami belum tahu mereka ini siapa. Ya, preman-preman itulah,” kata Irwandi. (Kompas, 15/1/2019)
Menurut Irwandi, dalam hubungan ini, preman memberikan jaminan kepada PKL baru sehingga mereka berani berdagang di trotoar sekitar Tanah Abang. Sebagai balas jasa, PKL membayar uang sewa trotoar ke preman.
Relasi antara preman dan PKL ini menyulitkan aparat dalam menertibkan trotoar dari PKL. Jumlah pedagang di trotoar Jalan Jati Baru Raya kembali ramai meskipun sebagian besar sudah direlokasi ke JPM.
Berdasarkan data Pemerintah Kota Jakarta Pusat, sebelum relokasi pada pertengahan Desember 2018, terdata 650 PKL. Dengan direlokasinya 446 PKL ke JPM, seharusnya yang tersisa 204 PKL. Namun, saat ini, jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari itu.
Kepala Seksi Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penindakan Satpol PP Jakarta Pusat Santoso mengatakan, berdasarkan penelusuran pihaknya, tak sedikit PKL yang masih di trotoar adalah pendatang baru. Ada yang baru berjualan sekitar dua bulan, ada yang dua minggu. Namun, Santoso tak tahu jumlah PKL pendatang baru itu.
Irwandi menambahkan, untuk jangka pendek, pihaknya menertibkan PKL secara rutin dengan mengerahkan Satpol PP Jakarta Pusat. Patroli pengawasan dan penertiban yang dilakukan dari Jalan Jati Baru Raya dan trotoar di seberang Pasar Blok G hingga Blok A dilakukan 2-3 kali sehari. Penyitaan dagangan juga kerap dilakukan, tetapi PKL tetap membandel.
”Saat ini kami adu kuat dulu dengan preman ini. Nanti kan PKL juga lama-lama bosan kalau ditertibkan terus,” katanya.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan, masalah preman di sekitar Pasar Tanah Abang dapat diselesaikan dengan pemetaan aktor perkotaan. Layaknya PKL, preman sebagai aktor informal akan selalu ada. Masalah ini dapat diselesaikan dengan mengakui keberadaan mereka dan memformalkannya.
”Sama seperti masalah tukang parkir yang diserap dalam UPT parkir, preman dapat dijadikan anggota UPT pasar. Kerja sama antara pemerintah dan aktor informal secara hukum memang diperlukan,” katanya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI/YOLA SASTRA)