JAKARTA, KOMPAS — Penanganan masalah terorisme dinilai membaik sejak revisi undang-undang terkait. Peningkatan kapasitas personel keamanan dan perbaikan program deradikalisasi perlu dilakukan guna memitigasi tindakan teror di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Overview dan Outlook Penanganan Terorisme di Indonesia” pada Selasa (22/1/2019) di Jakarta. Acara ini dihadiri Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Benny J Mamoto; Staf Ahli Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sri Yunanto; analis radikalisme dan terorisme Rakyan Adi Brata, serta Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif.
Menurut Benny J Mamoto, sebelum perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 menjadi UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU, penegakan hukum terkendala kurangnya regulasi yang belum mampu mencegah orang pergi ke luar negeri. Persoalan ini dapat diatasi dengan merevisi undang-undang yang lebih jelas.
Selain itu, proses persidangan terpidana tindak terorisme di Indonesia juga tergolong transparan. Benny membandingkan sistem persidangan Indonesia dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, yang mana sidang untuk pelaku aksi terorisme dilakukan secara tertutup.
”Akibatnya, masyarakat tidak dapat turut mengawal proses peradilan,” ungkap Benny.
Pendapat tersebut disetujui Rakyan Adi Brata. Menurut dia, komitmen penegakan hukum terhadap tindakan terorisme sangat terlihat selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beberapa waktu sebelum terjadinya peristiwa pengeboman di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Presiden telah mendorong adanya penguatan UU Terorisme untuk mendukung pengamanan di dalam negeri.
Revisi UU Terorisme menambahkan sejumlah poin penting yang sebelumnya tidak tercantum. Penambahan tersebut amat membantu petugas dalam proses investigasi dan mempercepat proses penyelidikan. Sejumlah hal yang dimasukkan dalam UU terbaru adalah definisi tindak pidana terorisme pada Pasal 1, keterlibatan anak-anak (Pasal 16A) , perpanjangan masa penahanan (Pasal 25 dan 28), keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam aksi kontraterorisme (Pasal 43 I) hingga penyadapan (Pasal 31A).
Penguatan undang-undang juga dinilai berhasil mencegah tindak terorisme sebelum terjadi. Menurut data yang ia kumpulkan dari berbagai sumber, semenjak UU Terorisme terbaru diberlakukan Mei 2018, penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dengan terorisme meningkat.
Pada 2017, jumlah orang yang diamankan karena kasus tindak pidana terorisme berjumlah 172 orang. Jumlah tersebut naik menjadi 400 orang sepanjang tahun 2018. ”Hal ini menandakan keinginan negara untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan warganya,” kata Rakyan.
Selanjutnya, Benny mengatakan, yang perlu menjadi fokus penegak hukum adalah peningkatan kapasitas petugas, terutama pada bidang teknologi informasi. Pelatihan terstruktur dan komprehensif amat penting karena perubahan model pendanaan kegiatan terorisme.
Organisasi-organisasi teroris kini telah menggunakan fasilitas teknologi finansial (tekfin) untuk mendanai aksinya. Transaksi yang terjadi pada dunia maya amat sulit terlacak apabila tidak memiliki kemampuan yang memadai.
”Selain personelnya, regulasi tentang transaksi dalam sistem seperti ini perlu diperketat agar jejak uangnya dapat dilacak,” katanya.
Selain itu, pendekatan melalui jalur nonhukum (soft approach) berupa program deradikalisasi untuk terpidana terorisme dan keluarganya juga perlu diperbaiki. Benny menilai kekurangan sistem ini adalah kurangnya program yang jelas.
Menurut dia, deradikalisasi harus dibedakan untuk tiap kasus. Setiap orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme pasti memiliki faktor pendorong yang berbeda-beda.
Untuk itu, program ini perlu melibatkan banyak pihak. Psikolog, kriminolog, akademisi, hingga kementerian terkait memiliki perannya masing-masing untuk menghilangkan pemikiran radikal seseorang.
Petugas yang terlibat dalam deradikalisasi juga harus dipastikan memiliki kompetensi yang memadai dan empati yang tinggi agar tidak kontraproduktif.
”Tetapi perlu diingatkan juga, soft approach dan hard approach (penindakan melalui proses hukum) perlu dilakukan secara beriringan karena keduanya saling melengkapi,” ujsr Rakyan. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)