Risiko Pelambatan Semakin Nyata
JAKARTA, KOMPAS — Risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini semakin nyata. Tanpa inovasi teknologi dan diversifikasi ekspor, pertumbuhan ekonomi domestik berpotensi menyentuh level di bawah 5 persen.
Risiko semakin besar menyusul prospek ekonomi dunia yang kembali terkoreksi. Dana Moneter Internasional (IMF), Selasa (22/1/2019), mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Pada 2020, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan 3,6 persen.
Koreksi perekonomian global ini disebabkan kebijakan proteksionisme, pengetatan keuangan, dan peningkatan beban utang di beberapa negara. Kenaikan tarif juga berdampak pada penurunan volume perdagangan global sehingga harga aset lebih rendah dan volatilitas pasar tinggi.
Sebelumnya, dalam laporan semitahunan berjudul ”Langit Menjadi Mendung” (Darkening Skies), Bank Dunia memperkirakan perekonomian global pada tahun ini melambat menjadi 2,9 persen dari 3 persen pada tahun lalu. Sebab, ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara dengan ekonomi terbesar dunia, melambat cukup dalam.
Baca juga: Masalah Esensial Cenderung Terabaikan
Terkait prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/ PPN Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, saat ini perekonomian domestik butuh stimulus agar bisa terdorong naik atau bertahan pada level di atas 5 persen. Stimulus itu diperoleh dari diversifikasi ekspor yang bernilai tambah.
”Diversifikasi ekspor terutama pada industri manufaktur yang didukung inovasi teknologi. Kita tidak bisa lagi bergantung pada ekspor komoditas, akan berbahaya,” kata Bambang dalam pidato kunci bertema inovasi visi Indonesia di acara Govpay Govnext, Jakarta, Selasa.
Menurut Bambang, pola penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mesti diwaspadai. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sempat mencapai 7,5 persen pada 1968-1979 karena ditopang tingginya harga minyak dunia. Pada era industri manufaktur dan liberalisasi 1980-1996, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 6,4 persen.
Saat krisis keuangan Asia, ekonomi tumbuh negatif 13-14 persen. Namun, secara tertahap mulai 2000, pertumbuhan ekonomi kembali menyentuh level 5 persen didorongan kenaikan harga komoditas, seperti batubara, sawit, dan minyak dunia. ”Jika kita tidak melakukan apa-apa, pertumbuhan ekonomi bisa turun menjadi 4,8-4,9 persen,” kata Bambang.
Jika kita tidak melakukan apa-apa, pertumbuhan ekonomi bisa turun menjadi 4,8-4,9 persen.
Bambang menambahkan, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah dan kebijakan. Salah satunya adalah reformasi struktural. Reformasi struktural untuk melepas ketergantungan ekspor komoditas itu membutuhkan konsistensi dan komitmen semua pihak.
Pemerintah juga sudah menyusun peta jalan revolusi industri 4.0 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Pengeluaran kotor untuk riset dan penelitian juga ditingkatkan dari 0,1 persen PDB tahun 2013 menjadi 1,5-2 persen PDB tahun 2045.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, risiko pertumbuhan ekonomi didominasi faktor eksternal dari pelemahan ekonomi China dan dampak terhentinya operasi pemerintahan AS. Namun, momentum pertumbuhan ekonomi domestik masih tetap ada. Dari target APBN 2019 sebesar 5,3 persen, risiko menurun ke bawah 5,1 persen.
Tantangan saat ini bagaimana menciptakan pertumbuhan yang tinggi, tetapi defisit kecil.
Risiko tekanan global juga diantisipasi melalui konsolidasi kebijakan fiskal. Keseimbangan APBN dijaga dengan target defisit di bawah 2 persen dan belanja yang produktif. Selain itu, rasio utang terjaga 30 persen PDB.
”Tantangan saat ini bagaimana menciptakan pertumbuhan yang tinggi, tetapi defisit kecil,” kata Sri Mulyani.
Kelas menengah
Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berpendapat, peningkatan daya beli kelas menengah menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Mereka bisa menggerakkan perekonomian industri kreatif yang kini masih didominasi UMKM. Insentif perpajakan bisa diberikan untuk tingkatkan daya beli.
Baca juga: Situasi dan Tantangan Kependudukan 2019
Mengutip studi Bank Dunia, sembilan dari 20 penduduk Indonesia adalah menjelang kelas menengah. Adapun kelas menengah memegang 47 persen dari total konsumsi rumah tangga Indonesia, di luar konsumsi kelas atas. Kelas menengah menjadi konsumen utama dari perekonomian.
”Yang mendorong perekonomian adalah permintaan. Persepsi kelompok menengah telah berubah, bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan keinginan,” kata Chatib.
Persepsi kelompok menengah telah berubah, bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan keinginan.
Risiko negatif pertumbuhan ekonomi berdampak pada peningkatan kemiskinan dan pengangguran, terutama di daerah yang ketergantungan ekspor komoditas, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Oleh karena itu, menurut Chatib, kebijakan peningkatan program perlindungan sosial dinilai tepat, tetapi implementasi harus tepat sasaran.
Bambang menambahkan, impian untuk lepas dari jebakan negara pendapatan menengah menjadi pendapatan tinggi bisa terwujud jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Momentum bonus demografi tahun 2045 dipersiapkan melalui investasi sumber daya manusia, terutama bidang pendidikan dan kesehatan.
Pada 2045, PDB per kapita Indonesia ditargetkan 23.199 dollar AS dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 persen. Indonesia juga akan menduduki posisi ke-5 negara ekonomi terbesar setelah AS, China, India, dan Jepang. Porsi penduduk kelas menengah di dunia mencapai 8,1 miliar orang atau 84 persen dari total penduduk.