JAKARTA, KOMPAS – Kewajiban sertifikasi halal masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan pengusaha. Kewajiban itu dinilai berpotensi meningkatkan kinerja ekspor ke negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam. Di lain sisi, sertifikasi halal dianggap akan memicu penurunan minat investasi asing dan memberatkan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Tak hanya produk yang dikonsumsi atau dikenakan, produk berupa jasa juga harus disertifikasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Selasa (22/1/2019) mengatakan, sertifikasi halal akan merepotkan pengusaha. “Undang-undang itu secara tidak langsung memaksa pengusaha untuk setuju dengan kewajiban sertifikasi. Meskipun, sebenarnya kami keberatan,” kata dia.
Menurut Hariyadi, biaya sertifikasi tidak murah. Selain proses administrasi yang panjang, para pengusaha juga harus menanggung anggaran auditor. Hal itu termasuk apabila bahan baku impor. Pengusaha harus membiayai auditor untuk menguji hingga ke tempat bahan baku itu diproduksi.
"Pembaruan sertifikasi halal yang harus dilakukan setiap empat tahun sekali akan semakin memberatkan pengusaha, terutama bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah," kata Hariyadi.
Pembaruan sertifikasi halal yang harus dilakukan setiap empat tahun sekali akan semakin memberatkan pengusaha, terutama bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah.
Hariyadi menambahkan, beberapa tantangan akan dihadapi jika kewajiban sertifikikasi halal diterapkan. Salah satunya adalah label halal palsu. Tingginya biaya dan rumitnya administrasi sertifikat halal berpotensi mendorong munculnya label-label palsu di pasaran.
Selain itu, Indonesia juga bisa dimusuhi negara lain. Sebab, aturan sertifikasi halal untuk semua produk akan dianggap sebagai hambatan masuk atau barrier to entery produk-produk dari negara lain.
“Sertifikasi halal juga berpeluang menghambat investasi. Minat investasi asing akan turun karena peraturan rumit sertifikasi,” imbuh Hariyadi.
Pemerintah diharapkan bisa mengevaluasi penerapan peratuan ini berdasarkan reaksi masyarakat, pengusaha, dan investor. Untuk meminimumkan dampak, perlu adanya batasan-batasan yang jelas terkait barang atau jasa yang mana yang harus disertifikasi.
Menanggapi akan diberlakukannya kewajiban sertifikasi halal, Brand Manager Wardah Cosmetics, Shabrina Salsabilla mendukung penuh keputusan yang mewajibkan sertifikasi tersebut. Shabrina memandang, sertifikasi halal penting untuk memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan konsumen.
Selama ini, mulai dari pabrik, gudang bahan baku, bangunan, dan proses produksi Wardah sudah disertifikasi halal. Untuk bahan baku impor, Wardah selalu mencari importir yang memiliki sistem kontrol kualitas dan sertifikasi halal.
Shabrina menceritakan, untuk mendapatkan sertifikat halal tidak mudah. Perlu mekanisme yang panjang, rinci, dan rumit. Namun, karena ‘halal’ merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan Wardah, segala proses dan persayaratan yang diberikan oleh lembaga penguji akan dipenuhi.
Peluang
Sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, Indonesia memiliki peluang untuk menyuplai produk halal ke negara-negara Islam lainnya. Data International Monetary Fund Direction of Trade Statistics (DOTS) pada 2017 menyebutkan, Indonesia berada di urutan empat tertinggi negara pengekspor produk halal ke negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Pangsa pasar halal Indonesia sebesar 10,7 persen. Produk dan jasa halal yang dieskpor antara lain makanan, minuman, kosmetik, makanan hewan, obat-obatan dan vaksin, keuangan syariah, farmasi, serta logistik.
Indonesia juga memiliki potensi nilai ekspor yang cukup tinggi. Potensi ekspor produk kosmetik pada 2017 senilai 20,91 juta dollar AS atau 0,52 persen dari total produk impor kosmetik negara-negara OKI yang dipasok dari negara-negara di dunia.
Peluang itu akan dimanfaatkan dengan baik oleh Wardah. Sejak 2016 lalu Wardah telah mengekspor produknya ke beberapa negara, salah yang terbesar adalah ke Malaysia. “Berapa besaran nilai ekspor itu, saya tidak bisa merinci. Saat ini, produk kami sudah masuk ke 289 toko di Malaysia,” kata Shabrina.
Malaysia menurut Shabrina menjadi salah satu target ekspor kosmetik yang potensial. Sebab, di negara tersebut belum banyak produk kosmetik halal. (KRISTI DWI UTAMI)