Kuasa Hukum Meminta Ba’asyir Tetap Dibebaskan Tanpa Syarat
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tim kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir menghormati putusan Presiden Joko Widodo yang akan mengkaji pembebasan kliennya. Namun demikian, mereka tetap meminta agar pemerintah tak menerapkan syarat apapun terhadap pembebasan Ba\'asyir, narapidana terorisme itu.
Achmad Michdan selaku anggota tim kuasa hukum Ba\'asyir pada Selasa (22/1/2019), menyatakan, pihaknya menghargai keputusan Presiden yang melakukan penelitian secara komprehensif terkait rencana pembebasan kliennya. "Itu merupakan hak Presiden guna memastikan apakah langkah yang akan diambil sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam jumpa pers Senin (21/1/2019) mengatakan, masih ada sejumlah aspek yang perlu dikaji terkait pembebasan bersyarat Ba’asyir seperti Ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hukum. Ia mengatakan Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan menteri terkait untuk melakukan kajian mendalam atas hal ini. (Kompas, 22/1/2019)
Pertimbangan pemerintah itu berangkat dari penolakan Ba\'asyir menyatakan sumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti diberitakan sebelumnya pada Jumat (18/1/2019) lalu, Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami menyatakan, bahwa Ba’asyir sebenarnya sudah bisa bebas bersyarat sejak 13 Desember 2018. Sebab, dia telah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Namun, menurut Utami, ada syarat yang belum dipenuhi Ba\'asyir untuk memperoleh bebas bersyarat. Sebagai narapidana kasus terorisme, Ba\'asyir harus menandatangani surat pernyataan kesetiaan kepada NKRI. Pernyataan itu belum dipenuhi dan masih dipertimbangkan Ba\'asyir.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, salah satu syarat narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat adalah telah menjalani dua per tiga masa tahanannya. Selain itu, mereka juga harus menandatangani surat pernyataan setia pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara Michdan mengatakan, pihaknya masih akan berpegang pada hasil pertemuan dengan utusan Presiden, Yusril Ihza Mahendra, pada Jumat (18/1/2019) lalu, di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Pada kunjungan tersebut, Yusril mengatakan Ba’asyir dapat dibebaskan tanpa perlu memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
“Kami menunggu inisiatif dari Presiden untuk hal ini (pembebasan tanpa syarat). Pak Ustad (Ba’asyir) ini sudah tua dan sakitnya cukup serius. Jadi, masalah pembebasan harus dilihat dari sisi kemanusiaannya,” tuturnya.
Berdasarkan catatan Kompas, Pada 16 Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan pidana 15 tahun penjara kepada Ba’asyir karena terbukti menggerakkan pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh bersama Dulmatin alias Yahya Ibrahim alias Joko Pitono. Baasyir juga terbukti mengumpulkan dana dari sejumlah pihak untuk pelatihan tersebut. (Kompas, 17/6/2011).
Keputusan di Presiden
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Agustinus Pohan berpendapat, narapidana yang sudah tidak layak untuk ditahan memang sebaiknya dibebaskan. Dalam kasus Ba’asyir, ia termasuk ke dalam kategori tahanan yang sudah tidak tepat berada di penjara, salah satunya karena faktor usia.
Agustinus melanjutkan, ketentuan yang mengharuskan narapidana menandatangani ikrar kesetiaan terhadap Pancasila dan NKRI adalah masalah keyakinan. Pemerintah belum tentu dapat mengubah jalan pikiran narapidana dari satu hal ke hal lain hanya dengan menandatangani sebuah dokumen.
“Keputusannya ada di tangan Presiden. Bila pertimbangan kemanusiaannya lebih tinggi dibanding dengan peraturan-peraturan yang sudah ada, sebaiknya dilakukan saja (pembebasan tanpa syarat), tetapi selanjutnya juga harus bisa diberlakukan pada tahanan lain. Hal ini bisa saja menjadi terobosan baru untuk membuat peraturan terkait pembebasan narapidanan berdasarkan alasan kemanusiaan,” jelas Agustinus. (Lorenzo Anugrah Mahardhika Telling)