Puluhan biro perjalanan yang tergabung dalam Asosiasi Travel Agent Indonesia atau Astindo mengadu ke Komisi VI DPR-RI, Jumat (18/1/2019). Mereka mengadu karena merasa pasarnya terus tergerus oleh keberadaan biro perjalanan daring atau online travel agent (OTA).
Semula mereka menganggap biro daring tidak akan bertahan lama karena promosinya sangat masif dan besar-besaran. Suatu ketika, agen daring dinilai bakal kelelahan membayar semua biaya yang tidak kecil itu. Mau sampai kapan mereka membakar uang?
Akan tetapi, setelah jalan sekitar tujuh tahun, biro perjalanan daring bukannya kehabisan uang. Sebaliknya, biro daring malah makin banyak dapat suntikan modal. Besarnya modal yang masuk membuat biro perjalanan konvensional atau conventional travel agent (CTA) semakin sulit bernafas. Tak hanya harga promosi yang lebih murah, OTA juga memberikan kemudahan karena konsumen bisa membeli tiket perjalanan dari mana pun dan kapan pun.
Akibatnya, biro konvensional makin ditinggalkan konsumen. Mereka merasa peraturan yang diterapkan tidak diberlakukan ke biro daring. Mereka menilai ada ketidakadilan. Agen konvensional merasa harus mengurus beragam izin dan pajak, sementara OTA tidak melalui beragam persyaratan yang menghabiskan biaya cukup besar, antara lain terkait kompetensi, standarisasi, dan sebagainya.
Saat ini, dari 8.367 CTA yang bergabung di Astindo, tinggal 50-60 CTA yang masih bertahan. Itu pun biro-biro yang terbilang yang besar yang biasa melayani korporasi langganan. Biro konvensional lain yang masih bertahan adalah yang melayani haji dan umroh yang pasarnya memang membesar.
Tak hanya harga promosi yang lebih murah, biro perjalanan daring juga memberikan kemudahan karena konsumen bisa membeli tiket perjalanan dari mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, biro perjalanan daring tumbuh luar biasa, pasarnya perorangan atau kelompok. Jika awalnya hanya melayani pembelian tiket pesawat, kini biro daring juga menyediakan jasa pemesanan tiket kereta, bus, hingga sewa mobil. Semua layanan itu terintegrasi di aplikasi di gawai. Bahkan, dengan digitalisasi perbankan, pembayaran tiket bisa dilakukan melalui gawai yang sama. Cepat dan mudah.
Oleh karena itu, meski jumlahnya hanya 0,5 persen dari total biro perjalanan yang ada, biro perjalanan daring bisa menguasai 70 persen pasar penjualan tiket. Sementara agen konvensional hanya menguasai 20 persen pasar.
Salah satu biro daring, PT Global Tiket Network (Tiket.com) memaparkan, pertumbuhan bisnis mereka meningkat pesat. Total transaksi harian Tiket.com pada 2017 sekitar 25.000 pesanan, meliputi tiket pesawat, hotel, kereta, acara, hingga jasa sewa mobil. Sementara tahun 2018, jumlah transaksi harian meningkat hingga 35.000-40.000 pesanan dan total 8 juta pesanan selama 2018. Pemesanan tertinggi adalah tiket penerbangan yang naik 3-4 kali lipat dibandingkan tahun 2017.
Berdasarkan studi Google-Temasek, pasar perjalanan daring di Asia Tenggara sepanjang 2018 mencapai 30 miliar dollar AS. Saat ini, 85 persen penjualan tiket Citilink menggunakan biro perjalanan daring, sementara penjualan tiket Garuda Indonesia melalui OTA mencapai 40-45 persen dan terus tumbuh.
Tingginya minat konsumen pengguna biro daring antara lain karena layanannya terus bertambah. Konsumen bisa berkomunikasi melalui Whatsapp sehingga keluhan bisa diatasi segera.
Traveloka saat ini juga sudah menyediakan jasa pemesanan hotel terpadu sehingga konsumen bisa memesan tiket pesawat sekaligus hotel. Ada lagi layanan PayLater dimana konsumen bisa membayar tagihannya setelah bepergian. Selain itu ada juga layanan penyediaan pulsa telpon dan data internasional.
Semua kemudahan itu diberikan biro daring hanya dalam genggaman. Hal ini membuat konsumen individu merasa sangat dimudahkan.
Disrupsi yang dialami biro perjalanan konvensional mengingatkan pada disrupsi yang dialami oleh perusahaan taksi. Hingga kini, payung hukum yang bisa memayungi taksi konvensional dan daring masih berproses.
Pemerintah mesti turun tangan melihat persoalan bisnis konvensional dan daring lebih luas lagi. Penyelesaiannya mesti lintas sektor. Pemerintah juga harus membuat payung hukum yang lebih lebar. Selain kepastian hukum, regulasi harus menjamin persaingan bisnis yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat luas.