Dana Desa untuk Anak Luar Biasa
Dana desa tidak melulu untuk membangun infrastruktur. Di sejumlah desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, sebagian dana desa digunakan untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Desa pun sadar bahwa ”anak-anak istimewa” itu berhak mendapatkan pendidikan seperti anak-anak lainnya.
Jumat (18/1/2019), belasan anak duduk di atas tikar di ruang aula PKK Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Di ruang belajar bagi sekolah luar biasa (SLB) rintisan itu, sebagian di antara mereka diam dan menyilangkan tangan di atas meja. Selebihnya ada yang mondar-mandir, tiduran, dan heboh sendiri.
Alifia Aulia (11), siswa tunagrahita asal Desa Banturejo, Kecamatan Ngantang, misalnya, heboh memeluk siapa saja yang masuk ke dalam kelas. ”Biasa, kalau ada tamu, akan seperti itu,” ujar Dian Purwaningtyas, guru SLB rintisan di Desa Ngantru.
Dian bersama rekannya, Jiyani, hari itu mengajar 17 siswa berkebutuhan khusus. Guru SLB rintisan itu sebenarnya ada tiga orang. Seorang lagi, mahasiswa Universitas Negeri Malang, masih menyelesaikan urusan perkuliahan.
Sekolah bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut hanya beroperasi setiap Jumat dan Sabtu karena sifatnya masih rintisan. Jam belajarmengajar dimulai pukul 08.00 hingga pukul 10.00.
Siswa yang belajar di sana bukan hanya dari Desa Ngantru, melainkan juga dari desa-desa di sekitarnya. Bahkan, ada juga yang berasal dari desa-desa perbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Blitar, yang berjarak 18 kilometer dari Ngantru. SLB lain yang terdekat berada di Kota Batu yang berjarak 31 kilometer dari Ngantru dan SLB Kandangan di Kediri (33 kilometer dari Ngantru).
Kesiatun, ibu dari Oktafian Fajar (8), siswa asal Desa Jombok, Kecamatan Ngantang (berjarak 18 km dari Ngantru), merasa senang ada sekolah bagi anaknya di Ngantang. Ia tak perlu menyekolahkan anaknya yang tunagrahita itu hingga ke Kota Batu.
”Sekarang Fajar sudah pintar pakai sepatu sendiri,” kata Kesiatun bangga. Anak-anak luar biasa itu ada yang tunawicara, tunagrahita, hiperaktif, dan autis. Sebagian dari mereka juga tercatat sebagai siswa di SLB Kandangan Kediri sehingga bisa mengikuti ujian.
”Mengurus anak-anak ini harus punya kesabaran luar biasa. Saya berharap SLB ini bisa terus ada di sini. Kasihan kalau mereka harus jauh-jauh pergi ke Kota Batu atau ke Kediri. Pasti banyak orangtua memilih tidak menyekolahkan anaknya.
Padahal, dengan bersekolah seperti ini, minimal mereka bisa bergaul dengan teman-temannya sehingga pemikiran dan emosi anak-anak ini bisa lebih diarahkan,” kata Jiyani, pengelola sekaligus guru di SLB rintisan Ngantru.
Perempuan yang lebih sering dipanggil Yani tersebut sebelumnya adalah ibu rumah tangga. Ia menjadi guru di SLB rintisan tersebut setelah diajak oleh para pendahulunya.
Kenapa sekolah itu disebut SLB rintisan? Sebab, secara formal mereka belum memiliki izin, masih dalam proses mengurus persyaratannya.
Kebutuhan sekolah selama ini disokong oleh iuran dari orangtua siswa. Mereka membayar Rp 2.000 per anak masuk sekolah.
Beberapa desa yang peduli dengan pendidikan anak ABK mengalokasikan sedikit dana desanya untuk memberikan uang transpor bagi anak-anak agar mau sekolah. Besarannya tidak banyak, sekitar Rp 8.000 per anak. Nominal tersebut bisa berbeda-beda antara satu desa dan desa lainnya, bergantung pada anggaran desa.
Dana desa di antaranya digunakan untuk memberikan ongkos transpor agar anak mau sekolah, membelikan mereka alat perlengkapan sekolah, dan memberikan transpor atau seragam untuk gurunya.
”Anak-anak di sekolah ini sebagian mendapat bantuan transportasi, perlengkapan sekolah, ada juga yang tidak. Semua bergantung pada desanya. Besarannya juga bergantung pada desa masing-masing. Akan tetapi, kami tetap bersyukur karena ada upaya memperhatikan pendidikan ABK di Kecamatan Ngantang ini,” kata Yani.
Program KKN
SLB rintisan Ngantru pertama kali diinisiasi mahasiswa KKN Universitas Negeri Malang (UM) pada tahun 2013. Pendanaan dari Generasi Sehat Cerdas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (GSC-PNPM).
Pendanaan dari PNPM meliputi pembiayaan ABK yang mau sekolah dan ongkos transportasi untuk empat guru saat itu. Ketika itu, PNPM memberikan Rp 800.000 setahun (untuk empat guru). Pendanaan berakhir seiring berakhirnya PNPM pada tahun 2017. Pembiayaan terakhir adalah tahun 2016.
Awal dirintis, siswa ABK yang bersekolah di sana 25 orang. Sejak tidak ada dana pendukung, beberapa orangtua mulai enggan menyekolahkan anaknya. Apalagi, mereka rata-rata repot bekerja di sawah. Tahun 2017, pengelola SLB mulai kerepotan menjalankan operasional sekolah karena sama sekali tidak ada sokongan dana.
Tahun 2018, sejumlah desa-desa berinisiatif mengalokasikan sebagian dananya untuk membantu biaya transportasi siswa dan guru. Desa-desa itu adalah Desa Ngantru, Desa Banjarejo, dan Besa Banturejo.
Desa Purworejo memberikan seragam untuk guru SLB. Desa Ngantru, sebagai lokasi SLB, memberikan fasilitas tempat dan sarana pembelajaran seperti meja. Besaran nilai uang transportasi untuk guru sekitar Rp 50.000 per bulan.
Mulai 2018, PT Pembangkitan Jawa Bali di Desa Selorejo, Ngantang dan Perum Jasa Tirta I memberikan bantuan untuk biaya transportasi guru SLB setiap bulan, membiayai tes kecerdasan siswa, dan seragam siswa.
SLB rintisan tersebut belum memiliki gedung sendiri. Sejumlah desa mengalokasikan dana untuk pembangunan gedung SLB. Sambil menunggu pembangunan gedung rampung, kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan di ruangan aula PKK. Saat ada acara PKK atau acara desa lainnya di ruangan itu, sekolah diliburkan.
Terkait keberadaan SLB rintisan di Desa Ngantru, Kepala Desa Ngantru Sholihin (47) mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak semua warga, termasuk ABK. Oleh karena itu, Pemerintah Desa Ngantru meminjamkan ruangan sebagai kelas belajar SLB rintisan.
”Di sini sedang dibangun gedung yang lebih baik, nantinya bisa digunakan oleh SLB untuk ruang sekolah. Pengelolaannya, rencananya ditanggung bersama oleh desa-desa di Kecamatan Ngantang,” kata Sholihin.