Dildo dan Perlawanan ”Kaum Lemah”
Pasangan Dildo ini bergaya seolah-olah turut kampanye menjadi capres ketiga, yang memberikan warna baru di antara keseriusan dua capres sebelumnya.
Di tengah hiruk pikuk ”perang” pendukung dua pasangan calon presiden di dunia maya, belakangan ada hal menarik dan menyegarkan. Hal itu menjadi semacam oase di tengah gurun pasir, memberikan kesegaran, kelucuan, tetapi juga menyisipkan satir akan situasi kekinian pada bangsa ini.
Hal menyegarkan itu adalah munculnya capres-cawapres gadungan Nurhadi-Aldo atau disingkat Dildo. Pasangan Dildo ini bergaya seolah-olah turut kampanye menjadi capres ketiga, yang memberikan warna baru di antara keseriusan dua capres sebelumnya.
Dalam berkampanye, kalimat dan pilihan kata yang ditulis lugas dan menyengat. Hal-hal yang selama ini tabu dibicarakan di publik, oleh mereka justru dibuka dengan gamblang. Jargon politik, slogan, dan petuah ala pejabat dikemas dalam bentuk pelesetan dan olok-olok.
”Jangan mau diadu domba. Karena kamu itu manusia, bukannya hewan.”
”Tanah kita sungguh subur. Tanam bibit ghibah, yang tumbuh buah bibir.”
”Buat apa merakyat kalau kita gak punya rakyat.”
Kalimat-kalimat pelesetan satir tersebut adalah sebagian hal menyegarkan yang disuguhkan Dildo. ”Jika meminjam istilah James C Scott, bahasa olok-olok atau sindiran itu boleh dibilang sebagai ’senjata kaum lemah’. Kaum lemah di sini adalah masyarakat umum, tidak berdaya, dan terjebak dalam perseteruan dua kubu,” kata Guru Besar Sastra Universitas Negeri Malang Djoko Saryono.
Scott melukiskan dalam bukunya, Senjatanya Orang-orang yang Kalah (Yayasan Obor Indonesia, 2000), bahwa petani di Kedah, Malaysia, melakukan perlawanan pada pemilik lahan dengan bentuk pembangkangan pribadi, menjatuhkan nama baik tuannya, mencuri, dan sebagainya.
”Pada kasus Dildo ini, sekelompok anak muda (di balik munculnya sosok Dildo) melakukan perlawanan dengan senjata berupa pelesetan dan olok-olok,” kata Djoko.
Baca: Analisis Kompas tentang Satire Politik Nurhadi-Aldo
Bahasa komunikasi berbentuk pelesetan dan olok-olok itu sebaiknya tidak dianggap hanya sekadar lelucon. Itu adalah hal tercerdas, yang boleh dibilang, lahir secara organik dari bangsa ini yang jengah dengan ”perang kata-kata” tak juga usai sejak pilpres periode lalu.
Efektif
Meski terlihat remeh, tetapi bahasa sebagai senjata perlawanan, bukanlah hal baru. Dalam kisah-kisah klasik, bahasa sebagai senjata perlawanan telah banyak dituliskan.
Buku Pirates and Emperors (Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 2017) karya Noam Chomsky menggambarkan bagaimana bahasa bisa menjadi senjata perlawanan atas ketidakadilan. Dalam buku itu, digambarkan dialog antara seorang perompak dan Alexander Agung sebagai penguasa. Dikisahkan, perompak tersebut sering mencuri ikan dan mengganggu perairan setempat. Ia akhirnya ditangkap oleh sang kaisar.
”Kenapa kamu mengganggu perairan ini?” kata Alexander Agung, Sang Kaisar. ”Lalu kenapa kamu justru mengganggu keamanan seluruh dunia? Hanya karena aku mengambil ikan dan menyerang dengan perahu kecil, aku disebut pencuri. Sementara kamu yang menyerang berbagai penjuru dunia dengan armada laut hebat, kamu disebut kaisar,” jawab si perompak.
Mendengar jawaban itu, tak ayal Alexander Agung marah besar dan membunuh si perompak. Tanpa harus dijelaskan, kalimat demi kalimat si perompak pasti sangat mengusik nurani dan membuatnya marah.
Kritik tajam ala perompak pada penguasa saat itu memang tidak lugas menghina sang kaisar. Namun, dengan bahasa halus pun mampu menusuk harga diri Sang Agung.
Gaya bahasa perompak di atas, jika dibandingkan dengan gaya bahasa kekinian, tentu jauh berbeda. Di media sosial saat ini, bersliweran hujatan dan cacian dangkal yang tak butuh waktu panjang untuk mencernanya. Apakah ini juga gambaran bahwa pikiran kian dangkal?
Baca: Nurhadi-Aldo Mengguncang Elite Politik
Lalu saya teringat dengan pengumuman di sebuah kampus besar di Kota Malang. Dalam pengumuman itu, secara lugas disebutkan mengenai tata cara/panduan mahasiswa untuk sekadar ber-SMS dengan dosen. Bahkan, seorang mahasiswi mengatakan, ada template khusus untuk ber-SMS pada dosen. Jika tidak sesuai aturan itu, dosen boleh tidak membalas SMS tersebut.
Saya kian terperangah. Separah itukah gaya bahasa generasi masa kini hingga harus diatur sebegitunya? Tidak bisakah generasi muda bangsa ini berpikir dan merasakan sendiri gaya berkomunikasi yang pas dengan dosennya?
Jika memang benar separah itu, tak heran bila tindakan bangsa kita belakangan ini juga semakin aneh, kasar, dan negatif.
Bagaimana bahasa, pikiran, dan tindakan bisa saling berkaitan? Pakar linguitik, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, pernah merumuskan sebuah teori Sapir-Whorf di mana bahasa dan pikiran saling berkaitan. Bagi mereka, bahasa menentukan pikiran dan tindakan.
Menurut keduanya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa menentukan cara pikir dan tindakan ke depannya. Misalnya, bahasa bisa memberikan aksen atas sebuah peristiwa (apakah mempertajam, melecehkan, atau mempertegas sebuah peristiwa). Aksen yang diberikan itu justru bisa mendorong orang untuk melakukan perbuatan selanjutnya atas sebuah peristiwa. Yang harus disadari, aksen dan pemaknaan dari setiap bahasa (dari setiap budaya) tentu berbeda-beda.
Kembali mengutip Sapir-Whorf, gaya bahasa negatif akan menentukan pikiran dan tindakan kita menjadi negatif. Tidak jengah kah kita dengan semua kalimat negatif yang lalu lalang sekarang? Dildo menjawabnya. Mereka jengah. Makanya mereka membuat ”perlawanan” ala mereka sendiri.
Mentalitas
Melihat itu semua, saya teringat tulisan Bernard Lewis dalam buku Culture Matters, How Value Shape Human Progress (editor Lawrence E Harrison dan Samuel P Huntington, 2000). Di sana, Lewis menyebut ada dua mentalitas (respons) timbul atas hal buruk yang terjadi pada kita. Respons pertama adalah pertanyaan, siapa yang melakukan hal ini pada kita (saya)? Respons kedua adalah pertanyaan, apa yang salah dengan yang kita (saya) lakukan?
Dua pertanyaan itu jelas sangat berbeda. Pertanyaan pertama cenderung menilai negatif hal yang terjadi pada kita. Bahwa ada orang lain yang menjadikan hal itu terjadi pada kita. Cenderung paranoid. Sementara pertanyaan kedua cenderung berkonotasi positif, yaitu merupakan kritik dan introspeksi atas diri sendiri. Bahwa kejadian negatif adalah terjadi karena cara kita melakukan yang mungkin salah.
Sebagai gambaran, dalam buku Culture Matters dikisahkan beda pandangan dua negara dalam menyikapi hal yang terjadi pada mereka. Selama paruh kedua abad ke-20, negara Amerika Latin secara umum memilih ”pertanyaan” negatif atas yang terjadi pada mereka. Mereka cenderung paranoid dan menyalahkan negara-negara maju (di sekitarnya), sebagai penyebab mereka masih saja miskin dan menderita secara ekonomi (akibat jerat utang dan hidup tergantung dari negara lain).
Sementara Jepang memilih pertanyaan sebaliknya: bagaimana kita bisa memperbaikinya? Setelah restorasi Meiji 1867-1868, Jepang mengalami perubahan mendasar. Runtuhnya kekuasaan shogun, awalnya membuat mereka gamang. Haruskah mereka kembali ke kehidupan era masa lalu? Padahal, mereka harus menghadapi modernitas Barat. Mereka kemudian bertekad, kalian orang Barat mampu membuat senjata, maka segera, kami juga bisa melakukannya.
Jepang lalu membangun negaranya dengan sistem pemerintahan efektif, literasi tinggi, struktur kekeluargaan kuat, moral disiplin dan etika tinggi, serta semangat identitas nasional dan rasa superioritas. Ya, orang Jepang tahu mereka superior. Oleh karena itu, mereka pun mampu mengenali superioritas orang lain.
Karena itu, mereka menyewa tenaga-tenaga ahli untuk membangun Jepang, mengirim orang-orang terbaiknya untuk belajar dari Amerika Serikat dan Eropa. Mentalitas orang Jepang terus dibangun. Kemalasan diyakini tidak hanya akan membuat dirinya menderita, tetapi seluruh generasi penerusnya juga akan menderita. Hasilnya, Jepang melesat menjadi negara maju.
Lalu, kita mau negeri ini jadi seperti apa?