Badan Nasional Penanggulangan Bencana membentuk tim intelijen kebencanaan. Apa tugasnya? Siapa saja personilnya?
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai masih lambat dalam upaya penanganan bencana dan mitigasi bencana. DPR pun mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh dan segera melakukan perbaikan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mengakui hal ini. Salah satu upaya perbaikan adalah BNPB membentuk tim intelijen kebencanaan.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah saat rapat Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR bersama sejumlah kementerian lembaga terkait di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (23/1/2019), mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi penanganan dampak bencana, khususnya bencana di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Evaluasi itu meliputi penyederhanaan birokrasi penanganan bencana, kejelasan alokasi pembiayaan untuk pemulihan dampak bencana, percepatan pemberian bantuan, dan pembenahan sistem mitigasi bencana.
Bencana di Nusa Tenggara Barat yang dimaksud, gempa bumi di Pulau Lombok dan sekitarnya, yang terjadi pada Juli-Agustus 2018. Bencana ini mengakibatkan setidaknya 555 korban meninggal dan lebih dari 73.843 rumah rusak.
Adapun bencana di Sulawesi Tengah adalah gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, yang terjadi pada September 2018. Korban meninggal akibat bencana ini mencapai 2.227 jiwa. Sementara rumah rusak mencapai puluhan ribu unit. Rumah rusak berat mencapai 24.739 unit, rumah hilang 1.784 unit, rumah rusak sedang 18.892 unit, dan rusak ringan 22.820 unit.
”Perlu ada terobosan dan evaluasi dalam penanggulangan bencana di negeri kita. Saat ini, penanganan bencana terasa sangat lambat. Sistem mitigasi bencana kita juga belum sigap membaca tanda-tanda alam dan memprediksi bencana,” kata Fahri saat memimpin rapat.
Hadir dalam rapat itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, serta Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita.
Fahri melanjutkan, setiap kali bencana terjadi, belum ada soliditas dalam penanganan bencana antara pemerintah daerah dan pusat. Akibatnya, tidak jarang masih dijumpai data yang berbeda. Tak sebatas itu, pemberian dukungan pembiayaan untuk membantu korban juga lamban.
”Di tempat bencana masih simpang siur, mana alokasi pendanaan jangka pendek dan mana jangka panjang. Ke depan, harus ada kepemimpinan yang lebih solid,” katanya.
Doni Monardo tak menampik penanganan bencana masih belum optimal. Salah satunya karena kewenangan BNPB tidak bisa menjangkau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang ada di provinsi dan kabupaten/kota sebab BPBD berada di bawah kepala daerah.
Untuk itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana perlu direvisi. Terkait hal ini, DPR dan pemerintah sepaham.
”Mudah-mudahan nanti dengan adanya revisi ini akan ada perubahan, yang mana strukturnya akan semakin kuat. Dan, BNPB akan punya jalur komando sampai tingkat kabupaten/kota sehingga kalau terjadi sesuatu, penanganannya akan lebih cepat,” ujar Doni.
Tim intelijen kebencanaan
Selain itu, dalam upaya memperbaiki mitigasi bencana, Doni mengatakan, BNPB telah membentuk tim intelijen kebencanaan. Tim itu terdiri dari personil Badan Informasi Geospasial (BIG); Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); serta para ahli dan akademisi.
”Jadi nanti sistem mitigasi bencana akan lebih terintegrasi. Mereka juga akan merancang sistem peringatan dini yang lebih aktual,” kata Doni.
Dia pun berharap adanya dukungan anggaran dari DPR dan pemerintah untuk memperbaiki sistem peringatan dini sekaligus sistem pengamanan terhadap setiap alat deteksi bencana.
Sementara itu, Tjahjo Kumolo mengatakan, setiap kali bencana terjadi, pemerintah sudah berusaha bergerak cepat. Kemendagri, misalnya, selalu menginstruksikan pemerintah daerah (pemda) yang daerahnya tertimpa bencana agar segera mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan daerahnya sedang dalam darurat bencana.
”Surat itulah yang menjadi dasar BNPB dan kementerian terkait bisa segera menyalurkan anggaran,” ujar Tjahjo.
Kemendagri juga ikut memberikan bantuan Rp 50 juta per desa yang terdampak bencana. Upaya lain, lanjut Tjahjo, Kemendagri mengirim tim pendamping agar layanan masyarakat tetap berjalan, seperti pencetakan kartu tanda penduduk elektronik dan kartu keluarga.
”Fungsi-fungsi pemerintahan harus tetap berjalan dan hadir di masyarakat. Apalagi, dalam situasi bencana, semua penanganan juga harus cepat,” katanya.