Dukungan Pemilih terhadap Capres-Cawapres Tak Sejalan dengan Partai
JAKARTA, KOMPAS — Pemilih pada Pemilu 2019 ini belum tentu akan memilih pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang diusung partai politik pilihannya. Menjadi tugas partai melakukan penyelarasan program agar keputusan pemilih bulat, yakni memilih pasangan capres-cawapres yang didukung partai pilihannya.
Fenomena split ticket voting, adanya perbedaan keputusan pemilih dengan partai pilihannya dalam mendukung pasangan capres-cawapres ini menjadi fokus survei yang dijalankan Indikator Politik Indonesia.
Hasil survei terkait fenomena split ticket voting itu disampaikan peneliti senior Indikator Politik Indonesia, Rizka Halida, di Jakarta, Rabu (23/1/2019). Pemaparan hasil survei itu dihadiri sejumlah politisi, seperti Roy Suryo (Partai Demokrat), Johnny G Plate (Nasional Demokrat), dan Marwan Jafar (Partai Kebangkitan Bangsa).
Survei tersebut dilaksanakan pada 16-26 Desember 2018. Metode penelitian yang diterapkan adalah menjaring 1.220 responden di 34 provinsi di Indonesia yang dilakukan secara acak (multistage random sampling). Masing-masing responden diwawancarai melalui tatap muka. Adapun margin kesalahan penelitian ini sekitar 2,9 persen.
Sebelum diminta memilih capres-cawapres yang didukung, para responden diminta melakukan simulasi pemilihan partai. Hasilnya, paling banyak responden memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebanyak 21,6 persen. Kemudian disusul Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sebesar 12,2 persen dan Partai Golongan Karya (Golkar) sebesar 10,7 persen. Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 9,3 persen, Demokrat sebesar 6,3 persen, Nasional Demokrat (Nasdem) sebesar 5,3 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 4,2 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebesar 4 persen, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sebesar 3,4 persen, dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebesar 2,7 persen.
Responden kemudian diminta memilih pasangan capres-cawapres pilihannya pada Pemilu 2019. Hasilnya, tak semua responden memilih pasangan capres-cawapres yang sesuai kehendak partai pilihannya.
Dari seluruh responden yang memilih Nasdem, contohnya, 27,8 persen mendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Padahal sejak jauh hari, Nasdem telah mendeklarasikan dukungannya untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Dari seluruh responden yang memilih Nasdem, yang memilih Jokowi-Ma’ruf sebesar 69,6 persen. Selebihnya, 2,6 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab terkait pilihannya untuk pasangan capres-cawapres.
Hal sama juga ditemukan pada partai-partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Contohnya Partai Demokrat, dari seluruh responden yang memilih partai itu, 40,5 persen malah memilih Jokowi-Ma’ruf. Hanya 54,1 persen responden pemilih Partai Demokrat yang memilih Prabowo-Sandi. Selebihnya, 5,4 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Rerata split ticket voting atau pemecahan dukungan bagi parpol dan capres-cawapres pada partai-partai pengusung Jokowi-Ma’ruf adalah 24,1 persen. Sementara angka split ticket voting pada partai pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 28,2 persen.
Rizka Halida mengatakan, perilaku pemilih seperti itu sebenarnya sudah terjadi sejak Pemilu 2004. Pemilihan tersebut merupakan pemilu pertama di Indonesia yang menerapkan pemilihan langsung untuk pasangan capres-cawapres.
Menurut dia, ada beberapa latar belakang yang menyebabkan pemilih tak memilih pasangan capres-cawapres yang didukung partai pilihannya. Salah satu sebabnya adalah ideologi partai. Saat ini, kata Rizka, belum ada keselarasan antara partai politik, ideologi partai, dan kebijakan yang diambil untuk mencapai pikiran utama tersebut.
”Partai-partai yang ada sekarang relatif belum terdiferensiasi dengan baik. Mereka semua mengatakan sebuah tujuan politik, tetapi tidak memiliki program yang jelas untuk mencapainya,” kata Rizka.
Faktor isu juga memengaruhi preferensi pemilih. Dalam menentukan pilihannya, mereka tidak hanya berpatok pada arahan partai. Apabila pasangan capres-cawapres yang didukung partai pilihannya dianggap tidak memiliki kebijakan yang cocok dengan pemikirannya, secara otomatis pemilih akan memilih pasangan capres-cawapres yang lain.
Rizka melanjutkan, dengan adanya temuan ini, partai politik perlu fokus untuk menyelaraskan program partai dengan pasangan capres-cawapres yang didukung. Selain itu, mereka juga dapat menggarap wilayah-wilayah yang dinilai berpotensi atau telah memiliki angka split ticket voting yang tinggi.
Sementara itu, Roy Suryo mengakui angka split ticket voting partainya memang cukup tinggi. Berdasarkan survei internal partai, sebelum Partai Demokrat menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Sandi pada 2018, angka tersebut bahkan mencapai lebih dari 50 persen.
Ia mengatakan, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menekan split ticket voting serendah mungkin adalah dengan melibatkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara langsung untuk mengampanyekan Prabowo-Sandi ke daerah-daerah pemilihan. Sosok SBY yang pernah menjabat sebagai Presiden RI selama dua periode itu dinilai menjadi faktor utama yang membuat para kader Partai Demokrat berpindah pilihan kepada pasangan Prabowo-Sandi.
”Kami juga membagi sumber daya partai secara optimal untuk mencapai dua tujuan. Yang pertama, partai mendapatkan suara sesuai target, dan kedua pasangan capres-cawapres yang kami dukung menang,” ungkapnya.
Adapun Johnny G Plate mengatakan, survei ini akan dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan partai untuk mengembangkan strategi kampanye mereka kurang dari tiga bulan jelang Pemilu 2019. Sejauh ini, sejumlah langkah yang telah dilakukan NasDem untuk mengurangi angka split ticket voting adalah dengan melakukan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diadakan 2017, dengan mengundang sekitar 15.000 pengurus partai dari seluruh Indonesia.
”Pada rapat tersebut, kami juga melakukan deklarasi dukungan kepada Pak Jokowi. Hasil tersebut dibawa para pengurus partai dan diberitakan kepada kader-kader di daerah agar split ticket voting menjadi kecil,” kata Johnny.
Selain itu, para calon anggota legislatif partai telah diberikan dua tugas utama, yaitu melakukan kampanye partai dan memperkenalkan calon presiden-calon wakil presiden yang didukung partai. Johnny juga mengatakan, kampanye untuk Jokowi bahkan telah dilakukan jauh sebelum Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai pasangannya. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)