Golput Hak Berekspresi yang Dilindungi Undang-Undang
JAKARTA, KOMPAS — Sikap pemilih untuk tak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) sebagai bentuk kritik terhadap situasi politik merupakan hak berekspresi yang dilindungi undang-undang. Keputusan untuk golput harus dihargai dan tetap dilindungi hukum.
Sejumlah aktivis, baik yang mengatasnamakan lembaga maupun pribadi, dalam konferensi pers bertajuk ”Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana” di Cikini, Jakarta, Rabu (23/1/2019), menyampaikan perlunya sikap golput pemilih untuk dilindungi hukum.
Konferensi pers yang dihadiri sejumlah perwakilan dari beberapa lembaga masyarakat, antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), juga menyatakan golput lahir tidak hanya karena sikap apatis, tetapi juga halangan bagi seorang pemilih untuk memilih.
Menurut advokat publik Alghiffari Aqsa, ada beberapa alasan orang bersikap golput. Hal itu bisa disebabkan sikap apatis atau ketidakpedulian terhadap politik, bisa juga karena adanya halangan yang membuat seseorang tidak bisa memilih.
Selain itu, golput juga bisa menjadi bentuk ekspresi pandangan politis akibat ketidakpercayaan pada calon tertentu atau sistem politik dan demokrasi saat ini. ”Golput sebagai bentuk ekspresi adalah hak konstitusional yang diatur dalam undang-undang hak asasi manusia,” ujarnya.
Hak tersebut, menurut dia, dijamin dalam Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat pertama pasal itu menyatakan, setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Golput sebagai bentuk ekspresi adalah hak konstitusional yang diatur dalam undang-undang hak asasi manusia.
Lalu, pada Ayat 2 disebutkan, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan, melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Kemudian, ia menyatakan, Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28e Ayat 2, juga menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
”Jadi, golput itu juga hak konstitusional karena hak memilih dan dipilih telah diatur dalam perundang-undangan. Karena sifatnya hak, orang bisa menggunakan, bisa juga tidak,” lanjutnya.
Ditambahkan anggota LBH Jakarta, Arif Maulana, golput sebagai upaya untuk mengekspresikan diri juga tidak dilarang dalam undang-undang tentang pemilu. Hal ini terutama dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 515.
Pasal itu berbunyi, ”Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah”.
”Berdasarkan pasal tersebut, golput tidak dilarang atau bisa dipidana jika tidak terikat politik uang atau pemberian materi lainnya,” kata Arif.
Pengawasan
Koordinator KontraS Yati Andriyani melihat, sejauh ini pilihan golput masih dilihat sebagai sesuatu yang diperdebatkan di ruang publik dan sesekali memicu perundungan kepada orang yang mengekspresikannya.
Menurut dia, kemungkinan adanya kriminalisasi perlu diantisipasi dengan mekanisme penegakan hukum agar tidak ada pelanggaran atas hak untuk tidak memilih atau golput.
”Komnas HAM punya mandat membuat mekanisme perlindungan agar hak tersebut tidak dilarang. Ini juga menjadi tantangan bagi penegak hukum. Mereka tidak boleh mengkriminalisasi atau digerakkan untuk menghalangi hak berekspresi tersebut,” tuturnya.
Jika suatu saat terjadi penindakan atas hak golput, peneliti ICJR Sustira Dirga berharap, penegak hukum memperhatikan beberapa unsur dalam aturan yang ada secara ketat. ”Dalam UU Pemilu, golput yang dilarang adalah jika ada perjanjian dengan pemberian uang atau materi lainnya. Di luar itu, orang yang memilih golput tidak dapat dipidana karena dijamin UUD dan UU HAM,” ucapnya.
Gunakan surat suara
Hak untuk memilih menurut sebagian aktivis yang hadir dalam acara tersebut tidak harus dengan tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Elisa Sutanudjaja dari lembaga swadaya masyarakat Rujak Center secara pribadi mengatakan tidak menganjurkan orang untuk golput.
”Kalau mau golput, tetaplah datang ke TPS. Ini untuk memastikan surat suara kita tidak disalahgunakan. Surat suara yang tidak sah pun akan tercatat sampai ke pusat,” ujar Elisa yang mengaku akan golput dalam pemilu kali ini.
Berdasarkan catatan Kompas, istilah golput dipopulerkan sekelompok anak muda pada Pemilu 1971. Gerakan ini muncul sebagai protes terhadap pemilu saat itu.
Dalam tulisan Eki Sjachrudin yang berjudul ”Kelompok Bebas, Ke manakah Kau Dalam Pemilu” di kolom Opini Kompas, 19 April 1971, anak-anak muda yang prihatin terhadap kondisi pemerintahan dilanda kebingungan. Mereka menginginkan perbaikan dalam kehidupan berpolitik yang saat itu sangat militeristik dan tangan besi.
”Bagi mereka, masih pertanyaan besar apakah perbaikan kehidupan politik kita di masa depan bisa dikerjakan oleh partai-partai plinplan dan tidak berkepribadian atau apakah Golkar yang demikian tiranik itu bisa membangun kehidupan yang demokratis,” tulis Eki.
Arsip Kompas pada 25 Juni 1971 memuat tulisan kecil berjudul ”Memorandum Golput” yang menjelaskan inti gerakan itu. Gerakan golput yang ada menyerukan agar masyarakat bertindak atas keyakinan diri. Kelompok golput ini pun mengkritisi kekuatan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menjadi kekuatan otoriter saat Orde Baru.
Masyarakat diharapkan bisa memilih tanpa terpengaruh intimidasi fisik ataupun mental. ”Kalau ada yang menganggap memilih lebih baik daripada tidak memilih, lakukanlah. Sebaliknya, kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu pula,” demikian isi memorandum tersebut. (ERIKA KURNIA)