Harapan Insentif Bagi Pelaku Usaha yang Terapkan Silin
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Produk silvikultur intensif diklaim bisa meningkatkan produksi kayu di hutan alam dari 30 meter kubik menjadi 120 meter kubik. Namun, penerapannya belum menarik minat pelaku usaha. Pembiayaan jangka panjang menjadi kendala yang perlu dicarikan solusinya oleh pemerintah.
Solusi pembiayaan itu misalnya bisa didapatkan dengan merevisi persyaratan pemanfaatan dana badan layanan umum (BLU) yang menggunakan dana reboisasi. Revisi itu terutama terkait jangka waktu maksimal peminjaman agar bisa mencapai 20-25 tahun hingga masa panen kayu silvikultur intensif (silin).
Sementara ini, dana BLU tersebut untuk kegiatan usaha bergulir jangka pendek.
Selain itu, pelaku usaha juga meminta agar tagihan dana reboisasi mendapatkan pengurangan bagi pengelola konsesi yang menerapkan silin. ”Untuk menjaga kepastian usaha dan ini (silin) sifatnya investasi, kita harus mengeluarkan modal besar,” kata Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Selasa (22/1/2019), di Jakarta.
Ia ditemui di sela-sela pencanangan Kebangkitan Hutan Indonesia dan Silin yang dilaksanakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar bersama dengan para pakar. Sejauh ini, silin yang baru bisa diterapkan pada jenis tanaman meranti diuji coba pada enam perusahaan pengelola konsesi hutan.
Untuk menjaga kepastian usaha dan ini (silin) sifatnya investasi, kita harus mengeluarkan modal besar.
Silin merupakan teknik silvikultur yang memadukan pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, serta pengelolaan organisme pengganggu tanaman dalam tegakan dan lingkungannya untuk mengakselerasi pertumbuhan tanaman. Setelah tanaman berusia lebih dari 10 tahun, tanaman siap dipanen.
Biaya produksi
Kebutuhan untuk pembuatan tanaman silin diperkirakan Rp 8 juta-Rp 17 juta per hektar, tergantung pada pilihan penggunaan metode jalur atau rumpang. Saat ini pemerintah menargetkan 20 persen area rencana kerja usaha pembalakan (izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam/IUPHHK-HA atau hak pengelolaan hutan/HPH).
Atas permintaan insentif dari para pelaku usaha tersebut, Siti Nurbaya menyepakatinya. ”Unsur pembiayaan dana reboisasi jangan sampai menjadi hambatan. Kalau dilihat kita punya BLU dan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup,” katanya.
Ia mempelajarinya dan mentransisikan BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan ke BLU Dana Lingkungan Hidup. Aspek yang menjadi pertimbangan, antara lain, penerapan silin bisa berkontribusi terhadap mitigasi atau pengurangan risiko terkait dampak perubahan iklim.
Bobot penilaian
Siti Nurbaya menegaskan, pemegang IUPHHK-HA yang menerapkan silin akan memiliki bobot penilaian kinerja tinggi. Karena itu, ia mendorong agar silin diterapkan sungguh-sungguh dengan penyediaan persemaian dan perawatan intensif agar memiliki persentase hidup tinggi serta kuantitas dan kualitas kayu yang baik.
Menurut Prof Moh Na’iem, pakar silin dari Universitas Gadjah Mada, produktivitas silin 3-4 kali dari produksi tebang pilih tanam Indonesia. Jadi silin akan menjamin kelestarian bahan baku dan industri kehutanan di masa depan.
Upaya memasifkan penerapan silin merupakan investasi jangka panjang sehingga pelaku usaha butuh pengurangan pembayaran dana reboisasi. Pelaku usaha pun membutuhkan penetapan tanaman sebagai aset perusahaan oleh pemerintah.
Pemerintah telah menerbitkan pedoman teknis silin bagi pengusaha hutan alam. Silin diterapkan pada 20 persen rencana kerja tahunan. Pengelola konsesi bisa memilih pola tanam rumpang atau blok dan pola tanam jalur. (SUCIPTO)