BANDA ACEH, KOMPAS – Selama 2018 luas tutupan hutan Aceh menyusut 15.071 hektar sedangkan pada 2017 tutupan hutan yang hilang 17.820 hektar. Dengan demikian tutupan hutan Aceh saat ini tersisa 3.004.532 hektar. Alih fungsi hutan dan pembalakan liar menjadi pemicu utama kerusakan hutan di provinsi paling barat Indonesia itu.
Kondisi hutan Aceh terkini itu dipaparkan oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) dan Forum Konservasi Leuser (FKL) dalam konferensi pers, Rabu (23/1/2019) di Banda Aceh. Tim HAkA melakukan monitoring kondisi hutan melalui satelit sedang tim FKL melakukan pemantauan di lapangan.
Manager Geographic Information System HAkA Agung Dwinurcahya menuturkan, pemantauan kerusakan hutan menggunakan citra satelit Planet dan Sentinel. Untuk menginterpretasi gambar dari citra satelit digunakan perangkat dari global forest watch (GFW). Dari hasil analisis visual kemudian dilakukan pengecekan ke lapangan.
“Yang ditemukan di lapangan sama dengan pemotretan oleh satelit. Di lapangan tim FKL menemukan kayu-kayu yang telah ditebang,” kata Agung.
Dengan menggunakan satelit dengan resolusi visual satu meter, batang kayu yang ditebang terlihat dengan jelas. Pemantauan dilakukan secara berkala sehingga laju kerusakan selama setahun terekam.
Adapun tiga kabupaten dengan deforestasi terbesar adalah Kabupaten Aceh Tengah (1.924 hektar), disusul Aceh Utara (1.851 hektar), dan Gayo Lues (1.494 hektar).
HAkA juga memantau secara khusus kondisi tutupan hutan di dalam kawasan ekosistem Leuser (KEL). Pada 2018 ditemukan kerusakan hutan KEL seluas 5.685 hektar. Luas kerusakan menurun dibandingkan tahun 2017 seluas 7.066 hektar, dan pada 2016 seluas 10.348 hektar. Meski terjadi penurunan luasan kerusakan, tutupan hutan di KEL kini tersisa 1.799.715 hektar.
“Setiap tahun hutan Aceh mengalami penyusutan, inilah pemicu besar bencana banjir dan longsor,” kata Agung.
Setiap tahun hutan Aceh mengalami penyusutan, inilah pemicu besar bencana banjir dan longsor.
Koordinator Monitoring FKL Tezar Fahlevi mengatakan perambahan hutan untuk mengalihkan fungsi menjadi perkebunan dan pembalakan liar telah merusak hutan Aceh. Pada 2018 FKL melakukan 200 kali patroli lapangan dengan menurunkan 85 personel. Patroli dilakukan meliputi 13 kabupaten.
Kata Tezar, pihaknya menemukan 2.418 kasus pembalakan liar dengan jumlah kayu 4.353 meter kubik, perambahan sebanyak 1.838 kasus dengan luas area yang dirambah 7.546 hektar, dan 108 pembukaan jalan baru dalam kawasan hutan dengan panjang jalan 193 kilometer.
“Pembalakan liar dan perambahan terjadi sangat masif. Temuan kami laporkan ke pemerintah dan aparat penegak hukum, beberapa kasus telah ditindak,” kata Tezar.
Pembalakan liar itu ditemukan di Aceh Selatan sebanyak 473 kasus , 437 kasus di Aceh Timur, dan 377 kasus di Aceh Tamiang. Sedangkan kasus perambahan hutan terjadi di Aceh Timur sebanyak 378 kasus , 326 kasus di Gayo Lues, dan 316 kasus di Aceh Tenggara.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Syahrial menuturkan, penyelamatan hutan menjadi prioritas pemerintah. Agar pengawasan lebih efektif, kesatuan pengelolaan hutan (KPH) telah diberikan hak mengelola anggaran secara mandiri sehingga aktivitas monitoring berjalan baik.
Selama ini, KPH memang kerap mengeluhkan keterbatasan anggaran menjadi penghambat melakukan upaya perlidungan hutan. “Dengan dikelola langsung oleh KPH lebih efektif. Pada tahun ini dana antisipasi kebakaran hutan dan lahan juga naik menjadi Rp 500 juta dari sebelumnya Rp 200 juta,” kata Syahrial. Selain itu program perhutanan sosial dan hutan desa juga menjadi upaya pelibatan warga dalam menjadi hutan.