Manfaat dan Kualitas Pelayanan Jaminan Sosial Harus Ditambah
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan perlu menyesuaikan perkembangan pasar tenaga kerja di tengah pesatnya ekonomi digital. Bentuk penyesuaian dapat berupa perluasan manfaat dan peningkatan kualitas layanan.
Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi Komunikasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Sumarjono menyampaikan hal tersebut di sela-sela menghadiri Seminar dan Board MeetingAsian Workers’ Compensation Forum, Selasa (22/1/2019), di Nusa Dua, Bali.
Soal perluasan manfaat, sudah ada perbincangan manfaat jaminan sosial untuk pengangguran (unemployement benefit) dengan jajaran Kementerian Ketenagakerjaan. Unemployement benefit terdiri atas tiga bentuk manfaat. Pertama, manfaat berupa kas yang dibayarkan kepada pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK) secara rutin sampai jangka waktu tertentu atau dia kembali bekerja.
”Nilai uang tunainya pun menurun dari bulan ke bulan. Intinya, besaran uangnya akan habis seiring pekerja berhasil mendapatkan pekerjaan baru,” ujar Sumarjono.
Manfaat kedua berupa pemberian kembali pelatihan kerja atau keterampilan baru yang sesuai permintaan industri. Manfaat ketiga yaitu menghubungkan pekerja dengan lapangan pekerjaan yang sesuai. Lagi-lagi, manfaat ini juga diperuntukan bagi pekerja program PHK.
”Tren teknologi digital bisa membuat perusahaan melakukan efisiensi ataupun merekrut pekerja baru yang lebih kompeten. Akibatnya, pekerja lama yang dirasa kurang terampil diganti,” katanya.
Menurut Sumarjono, untuk menerapkan unemployement benefit, pemerintah harus berani merevisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasalnya, dalam UU ini jaminan sosial ketenagakerjaan hanya mencakup empat program, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Sambil menunggu revisi UU No 40/2004 terlaksana, BPJS Ketenagakerjaan telah menyiapkan anggaran khusus untuk melatih pekerja korban PHK. Anggaran diambil dari dana operasional tahun 2019. BPJS Ketenagakerjaan akan menghubungkan peserta pelatihan dengan balai atau lembaga pelatihan.
Sementara dari sisi perbaikan kualitas pelayanan, kata Sumarjono, BPJS Ketenagakerjaan terus melakukan modernisasi perangkat. Sebagai contoh, pendaftaran hingga pelaporan kepersertaan menggunakan aplikasi bergerak.
Bagi pekerja informal atau bukan penerima upah, BPJS Ketenagakerjaan sudah mengembangkan program keagenan yang disebut Perisai. Sekitar 3.700 agen Perisai dibekali dengan aplikasi bergerak yang memudahkan mereka menjaring peserta baru.
”Saat ini kan berkembang model kemitraan, seperti perusahaan aplikasi transportasi dengan pengojek. Melalui kerja sama kami dengan perusahaan aplikasi, kami menjadi mudah mendata pengojek yang potensial menjadi target peserta jaminan sosial,” kata Sumarjono.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2018, jumlah angkatan kerja mencapai 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibandingkan Februari 2017. Sejalan dengan kondisi itu, tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 69,20 persen, meningkat 0,18 poin.
Adapun dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140.000 orang, sejalan dengan menurunnya tingkat pengangguran terbuka (TPT) menjadi 5,13 persen pada Februari 2018. Dilihat dari sisi tingkat pendidikan, TPT tertinggi berasal dari pekerja berlatar pendidikan sekolah menengah kejuruan, yakni 8,92 persen.
Deputy Chief Executive Officer of Social Security Organization (SOSCO) Malaysia Datin Azlaily Abdul Rahman mengungkapkan, dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 102 Tahun 1952 memuat sembilan risiko yang bisa diampu jaminan sosial. Kesembilan risiko meliputi kesehatan, sakit, pengangguran, usia tua, kecelakaan kerja, keluarga, persalinan, pensiun, dan kematian.
Setiap negara dapat mengadopsi Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 sesuai dengan kebutuhan. Dia berpendapat, penerapan konvensi sering kali mengikuti perkembangan perekonomian suatu negara.
Malaysia telah memiliki program jaminan sosial yang bersumber dari sembilan risiko Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952. Jaminan sosial dengan risiko kesehatan, sakit, dan keluarga dapat diakses pekerja formal dan informal.
Kehadiran tren ekonomi digital justru menjadi tantangan dalam menerapkan program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Sementara jaminan sosial dengan enam risiko lainnya hanya bisa diakses oleh pekerja formal. Pemerintah Malaysia berkomitmen membuka secara bertahap untuk pekerja informal.
”Kehadiran tren ekonomi digital justru menjadi tantangan dalam menerapkan program jaminan sosial ketenagakerjaan. Bisa jadi risiko yang harus diampu oleh jaminan sosial bertambah sehingga jenis ataupun besar manfaatnya pun perlu diperluas,” ujarnya.
Sebelum berbicara jauh mengenai implementasi jaminan sosial di era ekonomi digital, Datin memandang, pemerintah perlu memperhatikan nasib pekerja informal. Kelompok ini belum terpapar jaminan sosial.
Secara politik, pemerintah akhirnya mau menerbitkan regulasi jaminan sosial khusus pekerja informal. Namun, secara budaya tidak akan mudah.
”Sejak anak-anak, kita semua dididik untuk menjadi pekerja formal di perusahaan dengan standardisasi legal tertentu,” kata Datin.