Menuju Metropolitan Ramah Lingkungan
Kehadiran angkutan umum massal seperti Transjakarta dan Trans- Semarang telah menyuguhkan layanan transportasi publik yang cukup menyenangkan bagi warga di kedua kota. Namun, keluhan tetap ada. Harapan perbaikan pun terus disuarakan.
Bus Transjakarta hadir sebagai angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (BRT) dengan mengadopsi sistem BRT TransMilenio, Bogota, Kolombia. Sejak awal kelahirannya hingga kini sudah ada 13 koridor utama dan melayani 155 rute yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
Dengan kian banyaknya rute yang dilayani, Transjakarta praktis menjadi andalan sebagian warga Jakarta untuk bermobilitas. Per Januari 2019, setiap hari, tercatat sekitar 520.000 orang menggunakan bus Transjakarta. Namun, apakah Transjakarta sudah sempurna?
Yudiarto (41), wiraswasta yang menetap di Bintaro, Jakarta Selatan, mengatakan, Transjakarta memang menawarkan kemudahan akses karena banyaknya rute. Akan tetapi, jalur khusus lintasannya harus steril agar perjalanan lebih lancar dan aman.
”Berbahaya ketika kendaraan roda dua dan empat lain mengakses jalur Transjakarta,” ucap pria yang rutin menggunakan bus Transjakarta rute Blok M-Kota untuk berangkat kerja dan bertemu klien itu.
Isworo (48), karyawan swasta, mengungkapkan, ketika waktu sibuk pagi dan sore hari selalu terjadi antrean penumpang. ”Harus biasakan diri kalau sudah begitu. Tidak nyaman, tetapi harus dijalani. Semoga bisa dibenahi,” katanya.
Namun, ia juga mengapresiasi layanan harga tiket yang terjangkau, yaitu Rp 3.500 per orang. Selain itu, di dalam bus tidak ada pengamen dan ada penyejuk ruangan (AC).
Rizky Faizal (26), wirausaha, berharap pihak Transjakarta memperluas rute dengan menambah halte. Banyak pekerja yang tinggal di perbatasan Jakarta dan Tangerang. Mereka memerlukan halte tambahan untuk memudahkan mobilitas.
Trans-Semarang
Di Semarang, setelah satu dekade, Trans-Semarang semakin berperan membingkai transportasi perkotaan di Kota Semarang. Tak sekadar melayani penumpang, Trans-Semarang bersolek, menjadi angkutan metropolitan yang ramah lingkungan.
Di dalam halte BRT Simpang Lima, Jumat (18/1) siang, Iskhak (32) bersama tiga anak dan istri memperhatikan petugas BRT sigap mengingatkan penumpang setiap bus datang.
Begitu petugas mengingatkan bus Koridor 1 rute Mangkang-Penggaron hendak tiba, Iskhak bergegas menyuruh anak dan istrinya menuju pintu halte. Kala itu, halte serta bus cukup padat. Iskhak beserta keluarganya mesti menunggu giliran sebelum melangkahkan kaki ke dalam bus.
Iskhak, warga Mranggen, Kabupaten Demak, merasa BRT angkutan umum paling praktis dan terjangkau untuk membawa keluarganya jalan-jalan ke Semarang. ”Memang, saya harus naik dari Terminal Penggaron (untuk ke Semarang), tetapi BRT paling pas kalau mau jalan-jalan dengan keluarga,” katanya.
Menurut dia, pelayanan Trans-Semarang terus membaik, terutama dalam setahun terakhir. Sebelumnya, kendala ketepatan waktu dan kualitas pelayanan masih perlu diperbaiki. Kini, kata Iskhak, sudah semakin membaik.
Kenyamanan lain yang dirasakan Iskhak adalah suara mesin bus tak lagi bising. ”Belakangan, setelah ada konversi ke BBG, suara tak bising, tak bau bensin (solar),” ujarnya.
Agus (16) asal Pedurungan juga merasa terbantu dengan peningkatan pelayanan Trans- Semarang. ”Sopir mengebut juga semakin jarang. Tapi memang kalau jam-jam pulang sekolah menunggu kedatangan bus agak lama, terkadang lebih dari setengah jam. Yang pasti, tiketnya murah,” katanya.
Trans-Semarang kini telah memiliki tujuh koridor. Menurut rencana, pada 2019 akan diluncurkan Koridor 8, serta Koridor 9, 10, 11, yang berupa feeder (pengumpan). Harga tiket Rp 3.500 untuk umum dan Rp 1.000 untuk pelajar/mahasiswa serta pemegang kartu identitas anak (KIA).
Setelah beroperasi 10 tahun, BRT Trans-Semarang kini memiliki 7 koridor. Pengelola menargetkan pada 2021, Trans- Semarang melayani 12 koridor, yaitu delapan trayek bus dan empat angkutan pengumpan.
Bahan bakar gas
Pada 9 Januari 2019, Pemkot Semarang meluncurkan penggunaan alat konversi bahan bakar dari solar ke gas (BBG) untuk 72 bus Trans-Semarang. Proyek senilai Rp 10 miliar itu kerja sama Kota Semarang dan Kota Toyama, Jepang. Skema pembiayaan 50-50, dari Kota Toyama dan APBD Kota Semarang.
Kepala Badan Layanan Umum (BLU) UPTD Trans-Semarang Ade Bhakti Ariawan menuturkan, selain ramah lingkungan, penggunaan BBG menekan ongkos operasional. Selain itu, mesin pun menjadi lebih halus, awet, dan bertenaga. Seperti di daerah tanjakan, jika sebelumnya harus gigi 2, kini bisa gigi 3.
Ade menambahkan, di Semarang terdapat tiga stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). ”Namun, saluran pipa di ketiga SPBG itu baru ditargetkan tersambung tahun ini. Untuk sementara, Pertamina menyediakan MRU
(mobile refueling unit) sehingga pengisian bahan bakar tetap bisa dilakukan,” ujar Ade.
Wali Kota Toyama Masashi Mori dalam keterangannya mengatakan, usaha konversi bahan bakar ini merupakan proyek usulan yang pertama sehingga bisa dipromosikan sebagai model untuk daerah dan kota lain di dunia. Semarang terpilih sebagai 1 dari 100 kota yang berhasil mengelola transportasi umum dengan baik.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, proyek tersebut merupakan langkah konkret untuk mengatasi masalah kemacetan dan polusi di kota besar.
Dengan sederet kemajuan dan kekurangannya, BRT cukup menjanjikan untuk solusi angkutan perkotaan. Agar BRT terwujud baik, dorongan pemerintah pusat dan komitmen pemerintah daerah sangat menentukan. Dukungan warga untuk mau beralih menggunakan angkutan umum dengan semua kritik dan sarannya akan sangat membantu kotanya menuju metropolitan yang ramah lingkungan. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)