JAKARTA, KOMPAS - Aturan terkait perusahaan teknologi finansial masih kompleks. Pengaturan, pengawasan, dan pembinaan perusahaan teknologi finansial melibatkan berbagai otoritas karena beragamnya produk keuangan yang dimiliki perusahaan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam pembukaan diskusi “Antisipasi Disrupsi Teknologi Keuangan Kerja 4.0: Mengendalikan Fintech sebagai Parameter Perekonomian Masa Kini” di Jakarta, Rabu (23/2/2019), mengatakan, keberagaman produk dari perusahaan teknologi finansial (tekfin) menimbulkan masalah legalitas, risiko, dan regulasi.
Wimboh menyampaikan, isu yang muncul saat ini adalah perusahaan tekfin yang bukan perusahaan jasa keuangan dapat mengeluarkan produk keuangan. Adapun beberapa jenis perusahaan tekfin yang beroperasi di Indonesia adalah yang bergerak di sistem pembayaran, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, pembiayaan, dan perasuransian.
Keberagaman produk dari perusahaan teknologi finansial menimbulkan masalah legalitas, risiko, dan regulasi
Solusi yang diterapkan saat ini adalah perusahaan tekfin yang mengeluarkan produk pembiayaan diawasi OJK dan produk pembayaran diawasi Bank Indonesia (BI). Namun, tidak menutup kemungkinan produk perusahaan tekfin akan berinovasi sehingga membutuhkan pengawasan lintas lembaga dan sektor. “Ini ke depan harus kita atur dalam undang-undang,” kata Wimboh.
Wimboh melanjutkan, prinsip dasar pembuatan aturan bagi perusahaan tekfin adalah perlindungan konsumen. Perusahaan tekfin juga harus membuktikan pada OJK bahwa konsep bisnis akan berkelanjutan.
Aturan terbaru OJK yang telah mengatur perusahaan tekfin adalah POJK No.37/POJK.04/2018 tentang equity crowdfunding. OJK sebelumnya telah mengatur tentang peer to peer (P2P) lending, inovasi keuangan digital, serta penyelenggaraan layanan perbankan digital oleh bank umum.
OJK saat ini mengawasi 88 perusahaan tekfin P2P lending. Adapun jumlah peminjam mencapai 5,5 juta orang dengan nilai Rp 4,78 triliun pada 2018. Per November 2018, total 207 perusahaan tekfin beroperasi di Indonesia.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menyampaikan, selama produk yang ditawarkan adalah produk keuangan yang menjadi ranah OJK, perusahaan tekfin tetap harus tunduk pada aturan OJK meskipun perusahaan itu bukan perusahaan keuangan.
“OJK mendorong perusahaan tekfin untuk mendaftar kepada OJK terlebih dulu,” tutur Sukarela. Ini perlu dilakukan walaupun belum semua regulasi OJK telah mengakomodasi produk yang tersedia. Dengan begitu, inovasi perusahaan dan perlindungan konsumen tetap terjaga.
Secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menyampaikan, terdapat tiga domain yang mengatur perusahaan tekfin, yaitu OJK, BI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Yang perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar-lembaga sehingga regulasi tidak jalan sendiri-sendiri,” katanya.
Regulasi yang sejalan, mulai dari pengawasan dan pembinaan perusahaan tekfin, akan menciptakan iklim yang baik bagi perkembangan perusahaan.
Terintegrasi
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman menyampaikan, tidak menutup kemungkinan pada 2019, akan ada cross-selling produk. Misalnya, perusahaan tekfin produk pembiayaan menawarkan asuransi atau perusahaan tekfin perjalanan akan memiliki produk pembayaran dan asuransi.
“Produk perusahaan akan semakin terintegrasi. Jadi, apa yang kita idealkan mengenai tekfin bisa terjadi,” ujar Ajisatria.