JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, akan tetap memberikan bantuan bus kepada daerah-daerah yang membutuhkan. Bantuan bus ini sesuai program pembangunan angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/ BRT) yang tercakup dalam Rencana Strategis Kemenhub 2015-2019.
”Pengadaan bus akan tetap ada, tetapi jumlahnya tidak akan sebanyak dulu karena kami akan selektif,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi, Selasa (22/1/2019).
Untuk bantuan kali ini, pemerintah daerah yang harus aktif meminta kepada pemerintah pusat. ”Mereka harus menulis surat resmi, membeberkan alasannya dan juga komitmennya,” kata Budi.
Permintaan ini tidak hanya datang dari eksekutif, tetapi juga harus dari pihak legislatif daerah. Hanya dengan komitmen kuat dari eksekutif dan legislatif pemda, program BRT ini baru bisa jalan.
”Pemerintah pusat hanya menyediakan sarana. Prasarana serta anggaran harus disiapkan pemda untuk program tersebut,” ujar Budi.
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Djoko Setijowarno, mengatakan sebagian orang memahami BRT hanya perubahan fisik bus dan halte berlantai tinggi yang berjalan pada lajur khusus. ”Mungkin pemahaman ini yang mendorong program BRT pusat ke daerah hanya berupa bantuan bus berlantai tinggi dan pembangunan halte,” kata Djoko.
Sebenarnya perubahan yang mendasar dari hadirnya sistem BRT dibandingkan dengan angkutan umum konvensional adalah pada model bisnisnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, melalui PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) membeli jasa layanan dari perusahaan bus. Dengan sistem ini, sopir tak perlu ngetem atau ngebut demi mengejar setoran. Waktu dan jarak pemberangkatan bus pun diatur agar ada kepastian waktu tempuh.
Model bisnis sistem BRT ini memungkinkan tersedianya mekanisme subsidi angkutan umum dari pemerintah dan subsidi ini dapat lebih dipertanggungjawabkan. ”Sistem pengelolaan BRT ini yang kurang disosialisasikan ke daerah dan kurang ada dukungan anggaran,” lanjut Djoko.
Beberapa kota agak kelimpungan dalam pengoperasian BRT, khususnya pada aspek model bisnis, penganggaran, kelembagaan, dan regulasi. Akibatnya, wajar kalau sebagian BRT di kota-kota di Indonesia baik di awal, lantas performanya terus menurun. Kemenhub pun didorong untuk turut aktif mendampingi pemda agar masalah ini tidak terus berulang.
Kepala Dinas Perhubungan Kalimantan Utara Taufan dan jajarannya mesti berpikir keras agar pemanfaatan lima bus bantuan dari Kemenhub pada Desember lalu menjadi efektif. Kendala paling sulit adalah pihaknya belum bisa memastikan apakah pengelolaannya dilakukan perusahaan daerah atau operator swasta.
Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Pontianak Khairul Azhar mengatakan, di Pontianak terdapat lima bus BRT dari pusat. Bus itu sudah beroperasi sejak 2017. ”Namun, masyarakat belum memanfaatkan BRT secara optimal. Yang banyak menggunakannya para siswa,” ujar Khairul.
Pemerintah Kota Serang, Banten, belum memiliki rencana induk transportasi umum. Dana pembangunan shelter bus baru akan dianggarkan pada tahun 2019. Selanjutnya, Pemkot Serang menunggu bantuan bus dari Kemenhub. ”Betul, rencana induk transportasi umum Kota Serang belum ada,” kata Wali Kota Serang Syafrudin yang baru sebulan lalu dilantik.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Ambon Robby Sapulette di Ambon, Maluku, mengatakan secara perlahan baru akan mendorong penggunaan minibus hibah dari pusat untuk menggantikan mikrolet sebagai angkutan kota.
Direktur Utama PT Trans Bandar Lampung I Gede Jelantik menuturkan, awalnya ada 120 bus yang beroperasi di Kota Bandar Lampung. Kini, jumlah bus yang beroperasi hanya 60 unit. BRT itu pun hanya melayani rute Rajabasa-Panjang.
”Sebagian bus ada yang rusak. Ada juga yang mandek, tidak mampu beroperasi karena merugi,” ujar Gede, kemarin.
Saat ini, katanya, BRT dikelola dengan sistem setoran. Setiap hari, sopir menyetor Rp 250.000 kepada perusahaan. Tarif satu kali perjalanan Rp 5.000 per orang. Untuk bisa bertahan, pengelola juga terpaksa menyewakan bus untuk melayani rute luar kota. ”Kami bertahan karena BRT ini ikon Kota Bandar Lampung. Kami berusaha agar tetap ada satu atau dua unit yang beroperasi setiap hari,” kata Gede. (ESA/PRA/VIO/BAY/FRN/FLO)