SLEMAN, KOMPAS—Aktivitas penambangan pasir kembali menelan korban jiwa. Aspek keselamatan tidak diperhatikan dalam aktivitas tersebut. Penambangan pasir masih terus berlangsung meskipun pemerintah desa sudah berulangkali mengimbau masyarakat agar tak melakukannya.
Terakhir, Mistam (43), penambang asal Wonosobo, meninggal akibat tertimbun longsoran tanah sewaktu mengisi pasir ke dalam truknya, di Dusun Kaliwuluh, Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (23/1/2019). Tiga korban lainnya selamat tanpa luka, sedangkan satu lagi korban menderita luka di bagian kepala.
“Rata-rata petambang berasal dari Wonosobo. Korban meninggal karena sewaktu hendak menyelamatkan diri terhalang oleh truk yang ada didekatnya sehingga tertimbun oleh longsor tersebut,” kata Kepala Polsek Cangkringan Ajun Komisaris AR Sutarman, di lokasi kejadian.
Sutarman mengungkapkan, aktivitas menambang dimulai sejak pukul 06.00. Longsor terjadi sekitar pukul 11.30. Penambangan dilakukan dengan cara mengeruk pasir yang ada pada tebing di lokasi penambangan. Penyebab longsor diduga karena kondisi tanah yang basah.
“Situasi seperti ini karena memang musim hujan. Pasir itu rentan untuk longsor, apalagi, situasi basah atau hujan,” kata Sutarman.
Kejadian longsor akibat aktivitas penambangan pasir itu bukan kali pertama. Tahun 2018, terjadi tiga peristiwa longsor yang memakan 4 korban jiwa di Kecamatan Cangkringan.
Penambangan pasir yang dilakukan secara manual itu pun minim aspek keselamatan. Hal itu ditunjukkan dari barang bukti yang diamankan, yakni 1 unit truk, 8 buah sekop, 1 buah belencong, 1 buah linggis, dan 1 buah garu penggaruk pasir. Selain itu, lokasi penambangan pasir itu hanya berjarak sekitar 5 meter dari permukiman warga. Bahkan, terdapat sebuah rumah yang berada persis di tepi tebing yang menjadi lokasi penambangan pasir.
Camat Cangkringan Mustadi menyatakan, pihaknya sudah berulang kali mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas pertambangan pasir tersebut. Sebab, lokasi pertambangan cukup dekat dengan permukiman sehingga membahayakan keselamatan warganya serta para petambang.
“Aspek kerusakan lingkungan hingga risiko keselamatan sudah kami sampaikan kepada masyarakat. Tetapi, selalu dijawab dengan kebutuhan ekonomi mereka. Bahwa mereka membutuhkan uang untuk membiayai hidupnya,” kata Mustadi.
Kepala Desa Umbulharjo Suyatmi mengatakan, tanah yang menjadi lokasi pertambangan sebenarnya berupa tanah kosong atau pekarangan milik warganya. Para petambangnya adalah orang-orang dari luar desa tersebut. “Sebagian warga menjual tanahnya kepada orang luar, sebagian lainnya bagi hasil antara petambang dan pemilik tanah,” katanya.
Suyatmi mengharapkan, warga memperhatikan aspek lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut. Ia khawatir, lingkungan rusak akibat aktivitas tersebut dan, di masa mendatang, warga justru dirugikan dengan kerusakan lingkungan.
“Kalau bisa lahan itu jangan ditambang tetapi diolah menjadi hasil ekonomi yang lain. Kalau dilihat dari segi ekonomi, pasir memang menjanjikan. Tetapi, kalau mengingat anak cucu, besok kan yang bakal menerima (dampak lingkungannya) juga mereka,” kata Suyatmi.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral DIY R Hananto Hadi Purnomo menyampaikan, pihaknya melarang aktivitas pertambangan yang dilakukan berdekatan dengan permukiman warga. Jika hal itu terjadi, dapat dikatakan bahwa aktivitas tersebut ilegal.
“Ketika pertambangan dilakukan, itu pasti merusak struktur tanah. Jadi, kalau dilakukan di permukiman, pasti tidak kami izinkan,” kata Hananto.