Di tengah risiko perlambatan yang dihadapi perekonomian dunia, Indonesia memerlukan stimulus untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
JAKARTA, KOMPAS Kebijakan proteksionisme, pengetatan keuangan, dan peningkatan beban utang di sejumlah negara meningkatkan risiko bagi perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam proyeksi perekonomian yang dirilis Selasa (22/1/2019) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 3,7 persen. Namun, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi 2019 menjadi 3,7 persen dan pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi 3,6 persen.
Sebelumnya, dalam proyeksi ekonomi yang dirilis Oktober 2018, di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, di Bali, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,9 persen pada 2019 dan 3,7 persen pada 2020.
IMF pun menyebutkan, kenaikan tarif juga berdampak pada penurunan volume perdagangan global sehingga harga aset lebih rendah dan volatilitas pasar menjadi tinggi.
Sebelumnya, dalam laporan semi-tahunan berjudul ”Langit Menjadi Mendung”, Bank Dunia memperkirakan perekonomian global 2019 tumbuh melambat menjadi 2,9 persen dari 3 persen pada tahun lalu.
Penyebabnya, ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara dengan perekonomian terbesar dunia, melambat cukup dalam.
Terkait prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, saat ini perekonomian domestik memerlukan stimulus. Stimulus itu diperoleh dari diversifikasi ekspor yang bernilai tambah.
”Diversifikasi ekspor terutama pada industri manufaktur yang didukung inovasi teknologi. Kita tidak bisa lagi bergantung pada ekspor komoditas, akan berbahaya,” kata Bambang dalam pidato kunci bertema ”Inovasi Visi Indonesia” dalam acara Govpay Govnext, di Jakarta, Selasa.
Bambang menambahkan, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah dan kebijakan. Langkah itu, salah satunya, berupa reformasi struktural. Reformasi struktural untuk melepas ketergantungan ekspor komoditas itu memerlukan konsistensi dan komitmen semua pihak.
Pemerintah juga sudah menyusun peta jalan Revolusi Industri 4.0 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Pengeluaran kotor untuk riset dan penelitian juga ditingkatkan dari 0,1 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2013 menjadi 1,5-2 persen PDB pada 2045.
Momentum
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, risiko pertumbuhan ekonomi didominasi faktor eksternal dari pelemahan ekonomi China dan dampak kelumpuhan pemerintahan federal AS. Namun, momentum pertumbuhan ekonomi domestik masih tetap ada.
Meski demikian, dari target pertumbuhan ekonomi RI dalam APBN 2019 yang sebesar 5,3 persen, ada risiko turun menjadi 5,1 persen.
Risiko tekanan global diantisipasi melalui konsolidasi kebijakan fiskal. Keseimbangan APBN dijaga dengan target defisit di bawah 2 persen PDB dan belanja yang produktif. Selain itu, rasio utang terjaga pada 30 persen PDB.
”Tantangan saat ini, bagaimana menciptakan pertumbuhan yang tinggi, tetapi defisit kecil,” kata Sri Mulyani.
Kelas menengah
Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berpendapat, peningkatan daya beli kelas menengah menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Kelas menengah bisa menggerakkan industri kreatif yang kini masih didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Oleh karena itu, insentif perpajakan bisa diberikan untuk meningkatkan daya beli tersebut.
Mengutip studi Bank Dunia, sembilan dari 20 penduduk Indonesia mendekati kelas menengah. Adapun kelas menengah memegang sekitar 47 persen dari total konsumsi rumah tangga Indonesia. Kelas menengah menjadi konsumen utama dari perekonomian.
”Yang mendorong perekonomian adalah permintaan. Persepsi kelompok menengah telah berubah, bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan keinginan,” kata Chatib.
Chatib menambahkan, risiko negatif pertumbuhan ekonomi berdampak pada peningkatan kemiskinan dan pengangguran, terutama di daerah yang bergantung pada ekspor komoditas, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Oleh karena itu, menurut Chatib, kebijakan peningkatan program perlindungan sosial dinilai tepat. Akan tetapi, implementasinya harus tepat sasaran.
Sementara itu, Bambang menambahkan, upaya untuk lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah menjadi berpendapatan tinggi bisa terwujud jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Momentum bonus demografi pada 2045 disiapkan melalui investasi sumber daya manusia. (KRN)