JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu bank besar di Indonesia, PT Bank Negara Indonesia Tbk mencatat pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga di atas rata-rata industri perbankan sepanjang 2018. BNI mencatat laba bersih sebesar Rp 15,02 triliun atau tumbuh 10,3 persen pada 2018. Namun, gejolak perekonomian membuat laba tumbuh melambat.
BNI mencatat pertumbuhan kredit Rp 512,78 triliun pada 2018 atau tumbuh 16,2 persen secara tahunan. Sebagai perbandingan, kredit industri perbankan tumbuh 12,88 persen pada 2018 mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Kepatuhan PT Bank Negara Indonesia Tbk Endang Hidayatullah dalam konferensi pers Paparan Kinerja BNI Tahun 2018 di Jakarta, Rabu (23/1/2019), mengatakan, penyaluran kredit didorong pertumbuhan kredit yang signifikan pada segmen korporasi swasta dan perusahaan badan usaha milik negara.
”Kredit pada segmen korporasi swasta sebesar Rp 151,71 triliun atau tumbuh 12,9 persen. Kredit pada segmen perusahaan BUMN mencapai Rp 110,99 triliun atau tumbuh 31,6 persen pada 2018 secara tahunan,” kata Endang.
Adapun kredit pada segmen usaha menengah sebesar Rp 74,73 triliun atau tumbuh moderat sebesar 6,4 persen. Kredit pada segmen usaha kecil mencapai Rp 66,06 triliun atau tumbuh 17 persen.
Kredit payroll atau nasabah karyawan perusahaan yang penggajiannya lewat BNI menjadi kontributor utama penyaluran kredit pada segmen konsumer sebesar Rp 23,74 triliun atau tumbuh 34,2 persen. Adapun kredit pemilikan rumah dan kartu kredit sebesar Rp 40,75 triliun dan Rp 12,56 triliun atau tumbuh masing-masing sebesar 9,9 persen dan 7,9 persen pada 2018 secara tahunan.
”Sepanjang 2018, kredit BNI disalurkan fokus pada pembiayaan sektor-sektor unggulan yang memiliki risiko terkendali atau relatif rendah, seperti sektor manufaktur dan proyek pembangunan infrastruktur,” kata Endang.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 578,78 triliun atau tumbuh 12,1 persen pada 2018. Terdapat penambahan jumlah rekening sebesar 11,2 juta menjadi 44 juta rekening pada 2018.
Adapun berdasarkan data OJK, dana pihak ketiga perbankan mencapai Rp 5.630 triliun atau tumbuh 6,45 persen secara tahunan.
Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia Tbk Anggoro Eko Cahyo menambahkan, BNI berhasil mengatasi masalah likuiditas yang menimpa sejumlah bank lainnya. ”Perusahaan memiliki kekuatan di level korporasi. Kami tidak fokus pada penyaluran kredit saja, tetapi mengoptimalkan supply chain, seperti giro, tabungan, dan payroll,” ujarnya.
Laba melambat
BNI memperoleh laba bersih sebesar Rp 15,02 triliun atau tumbuh 10,3 persen pada 2018 secara tahunan. Pertumbuhan laba ini melambat dibandingkan pada 2017 yang mencapai Rp 13,6 triliun atau tumbuh 20,1 persen.
Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk Herry Sidharta menambahkan, laba memang melambat, tetapi masih tumbuh sebanyak dua digit. Sepanjang 2018, performa perusahaan turut terpengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah dan perang dagang AS-China. Kinerja sejumlah anak perusahaan, seperti BNI Life, tidak optimal karena kondisi pasar modal kurang baik.
Persaingan likuiditas sangat ketat pada 2019 sehingga ada peluang suku bunga naik.
Pertumbuhan laba BNI pada 2018 didukung dari membaiknya kualitas aset. Ini terlihat dari rasio kredit bermasalah (NPL) gros turun dari 2,3 persen pada 2017 menjadi 1,9 persen pada 2018.
Proyeksi 2019
BNI memproyeksikan agar kredit dan DPK tumbuh masing-masing sebesar 13 persen-15 persen dan 16 persen. Adapun laba diproyeksikan tumbuh 13-15 persen. NPL diproyeksikan berada pada kisaran 1,9 persen-2 persen.
Adapun rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) ditargetkan di kisaran 88 persen-90 persen. Adapun selisih suku bunga (NIM) ditargetkan 5,3 persen-5,4 persen.
”Persaingan likuiditas sangat ketat pada 2019 sehingga ada peluang suku bunga naik. Tetapi, memang kami melihat kondisi pasar kami ingin fokus pada kualitas kredit,” kata Anggoro. BNI juga akan fokus menjaga NIM di kisaran 5,3 persen.