JAKARTA, KOMPAS--Keterlibatan investor asing dalam konsolidasi perbankan di Tanah Air tak terhindarkan. Hal ini disebabkan minat pemilik modal domestik yang terbatas.
Di sisi lain, kalkulasi bisnis membuat perbankan nasional enggan melakukan ekspansi global. Bisnis di tingkat lokal dinilai masih menguntungkan.
“Pengusaha besar di Indonesia menyadari regulasi bisnis perbankan di Indonesia ketat, sehingga kemampuan mereka untuk mengonsolidasikan perbankan menjadi terbatas,” ujar Direktur Grup Surveilans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Doddy menuturkan, kebanyakan investor asing pengelola bisnis perbankan di Tanah Air sudah masuk ke Indonesia pasca-krisis 1997/1998. Mereka adalah penyuntik modal bank yang saat itu menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Berbekal waktu berbisnis yang cukup lama di Tanah Air, pemilik modal ini kian adaptif dengan regulasi perbankan nasional yang ketat.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/POJK.03/2016 tentang kepemilikan saham bank umum, investor asing diperbolehkan memiliki lebih dari 40 persen saham, dengan catatan pemilik modal mengakuisisi dan melebur dua bank lokal. Contoh paling baru dilakukan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) Bank Ltd, yang melebur PT Bank Danamon Indonesia Tbk dengan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. MUFG Bank sebelumnya mengakuisisi 75 persen saham Bank Nusantara Parahyangan dan 73,8 persen saham Bank Danamon Indonesia.
“Faktor pendorong mereka masuk ke Indonesia adalah kesempatan dan potensi di negara asalnya sudah menipis. Adapun faktor penariknya adalah prospek ekonomi Indonesia yang cerah,” ujar Doddy.
Doddy membandingkan, rata-rata marjin bunga bersih (NIM) bank umum di Indonesia pada 2018 berkisar 6 persen. Sementara, pada periode yang sama, rata-rata NIM bank umum di Jepang di bawah 0,5 persen. “Di Malaysia, NIM perbankan hanya berkisar 3 persen,” ujarnya.
Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Bob Tyasika Ananta, mengakui, selain profit, ekspansi bisnis juga perlu mempertimbangkan risiko. Dia mencontohkan, untuk penetrasi di Singapura, BNI tidak diperbolehkan membuka kantor cabang, namun diminta untuk mendirikan anak perusahaan.
“Padahal mendirikan anak usaha di luar negeri butuh modal besar. Selain itu bisa dipastikan beban operasional akan lebih tinggi,” kata Bob.
Konsolidasi
Direktur Independen Bank Danamon Rita Mirasari optimistis proses penggabungan usaha berdampak pada pertumbuhan kredit. Penyaluran kredit di segmen ritel dan konsumer tetap menjadi prioritas Bank Danamon pasca-peleburan.
“Pertumbuhan kredit tahun depan akan difokuskan untuk kredit usaha kecil menengah dan kredit pemilikan rumah, dengan target pertumbuhan 8-10 persen,” ujarnya.
Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengatakan, konsolidasi diharapkan berdampak positif bagi kinerja industri perbankan. Penggabungan usaha tidak hanya merampingkan jumlah bank, namun juga memperkuat modal, yang pada akhirnya diharapkan menambah deras aliran kredit.
"Bank-bank kecil rentan terhadap krisis. Kalau bank semakin besar dan kuat, risiko bank gagal akan semakin menurun,” kata Fauzi. (DIM)