Industri Farmasi Indonesia Jajaki Kemitraan dengan India
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha industri farmasi di Indonesia ingin lebih intensif menggarap bisnisnya secara global. Salah satunya dengan menjalin kemitraan bisnis dengan pelaku industri farmasi dari negara lain.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Kedutaan Besar India untuk Indonesia, memfasilitasi pertemuan bisnis ke bisnis dari pelaku industri farmasi dari dua negara tersebut di Jakarta, Kamis (29/1/2019). Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa hal ini merupakan kelanjutan dari perjanjian yang disepakati pada 2018.
"Kadin telah mengupayakan kemitraan ini sejak 2016. Hingga pada 2018, akhirnya dibentuk Komite Bilateral India yang akan fokus dengan kerja sama di beberapa bidang, meliputi pertambangan, infrastruktur, manufaktur, dan farmasi," kata Shinta.
Dari empat bidang tersebut, industri farmasi menjadi kemitraan yang paling mungkin untuk dipertemukan pada awal tahun. Selain itu, Shinta mengatakan industri farmasi memiliki potensi untuk lebih berkembang dengan kemitraan tersebut.
Ketua Umum GP Farmasi Tirto Kusnadi mengatakan, industri farmasi dihadapkan dengan tantangan dari segi harga dan persediaan bahan baku obat. Ia menjelaskan, harga bahan farmasi aktif untuk obat (API) naik dua kali lipat dalam dua tahun terakhir.
Menurut Tirto, kenaikan harga disebabkan sejumlah negara yang menghentikan pasokan bahan baku karena isu kerusakan lingkungan. China yang menjadi salah satu negara pemasok, juga mengurangi persediaan bahan tersebut karena sejumlah perusahaan farmasi di sana gulung tikar.
"Harga impor bahan baku ini terus naik, sementara harga jual obat menurun setidaknya dalam empat tahun terakhir. Penurunan ini lebih kepada faktor tender dari pihak pemerintah yang menahan harga untuk obat BPJS agar tidak terlalu mahal," ucap Tirto.
Direktur Eksekutif GP Farmasi, Darodjatun Sanusi, mengharapkan kerja sama dengan India dapat menambah pasokan bahan baku tersebut. Dalam paparan seminar, ia mengatakan bahwa ada sekitar 206 perusahaan farmasi di Indonesia. Dari jumlah itu, 95 persen bahan baku masih diimpor.
Darodjatun menilai, kondisi itu menjadi peluang bagi India untuk menjalin kemitraan. Terlebih lagi, nilai pasar komumsi farmasi Indonesia pada 2017 sangat besar, yakni sekitar Rp 70 triliun.
"Celah itu bisa dimanfaatkan oleh India. Di satu sisi, kami menjalin kemitraan dengan mereka untuk mengejar adanya transfer pengetahuan dan teknologi," kata Darodjatun.
Joint Director Dewan Ekspor Farmasi India (Pharmexcil) Murali Krishna mengatakan, ada 3.000 perusahaan farmasi dan 10.000 unit manufaktur dari berbagai jenis obat di India. Dengan berhasilnya kemitraan dari sejumlah delegasi hari ini, ia berharap kemitraan tersebut dapat terus berkelanjutan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene, mengatakan kemitraan ini didukung penuh oleh instansi terkait. Namun, ia berharap kerja sama semacam ini dapat dimanfaatkan untuk transfer teknologi, sebagai upaya untuk mengurangi impor. (ADITYA DIVERANTA)