Dengan membuka kembali hubungan diplomatik dengan Israel, Chad adalah negara pertama anggota OKI yang keluar dari garis kebijakan OKI agar negara anggotanya tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum isu Palestina selesai.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
Kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Chad selama dua hari, Sabtu dan Minggu (19-20/1/2019), merupakan kunjungan terpentingnya ke Afrika secara geopolitik. Lawatan itu merupakan kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Chad, Idriss Deby, ke Israel, November 2018.
Pertemuan Netanyahu dan Deby di N’Djamena, ibu kota Chad, hari Minggu lalu menandai pembukaan kembali hubungan diplomatik kedua negara setelah 47 tahun. Sejak tahun 1972, hubungan diplomatik Israel-Chad terputus.
Israel membuka hubungan diplomatik dengan Chad tak lama setelah Chad meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis tahun 1960.
Israel saat itu menerapkan kebijakan mengepung dunia Arab dengan menjalin hubungan dengan negara-negara sekitarnya, seperti Turki dari utara, Iran dari timur, serta negara-negara Afrika, seperti Ethiopia dan Chad dari selatan. Chad memutus hubungan diplomatik dengan Israel tahun 1972 atas tekanan Mesir dan Libya.
Chad adalah negara pertama anggota OKI yang keluar dari garis kebijakan OKI agar negara anggotanya tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum isu Palestina selesai.
Kunjungan Netanyahu ke Chad disebut terpenting secara geopolitik ke Afrika terkait empat sasaran sekaligus yang diincar Israel. Pertama, negara-negara Afrika yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel bertambah lagi.
Israel selama ini hanya bisa menembus negara-negara Afrika di selatan gurun Sahara, seperti Uganda, Ethiopia, Kenya, Rwanda, Liberia hingga Afrika Selatan. Namun, Israel gagal menembus negara-negara Afrika di area Gurun Sahara dan utara Gurun Sahara.
Chad adalah negara Afrika pertama di area Gurun Sahara yang membuka kembali hubungan diplomatik dengan Israel.
Negara anggota OKI
Kedua, Chad adalah negara pertama di Afrika berpenduduk mayoritas Muslim dan anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel saat proses perdamaian Palestina-Israel masih macet total. Negara Afrika lain yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Mali, Niger, Nigeria, dan Senegal masih menolak keras membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Dengan demikian, Chad adalah negara pertama anggota OKI yang keluar dari garis kebijakan OKI agar negara anggotanya tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum isu Palestina selesai.
Ketiga, Israel—dengan membuka hubungan diplomatik dengan Chad—memiliki akses langsung untuk memantau dari dekat aktivitas gerakan Islam radikal paling masif di Afrika, yakni di kawasan yang terkenal dengan nama Sahel Sahara. Negara-negara Sahel Afrika itu meliputi Mauritania, Nigeria, Niger, Mali, Chad, dan Sudan, serta Aljazair dan Libya bagian selatan. Di kawasan Sahel Afrika itu, aktif beroperasi gerakan radikal, seperti kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Al Qaeda, dan Boko Haram.
Boko Haram, sayap Al Qaeda di Afrika Barat, beroperasi di Nigeria, Niger, dan Mali. Adapun Al Qaeda di Maghrib Arab (AQIM) berpusat di Aljazair bagian selatan, Mali, Mauritania, dan Tunisia bagian barat. NIIS kini juga aktif di Libya bagian selatan.
Keempat, kunjungan Netanyahu ke Chad merupakan bagian dari upaya Israel membendung pengaruh Iran di Afrika. Seperti diketahui, pertarungan Iran-Israel tak hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga merambah ke Afrika.
Pada tahun 2016, Netanyahu untuk pertama kali setelah tiga dekade mengunjungi Uganda, Ethiopia, Kenya, Rwanda, dan Liberia, menyusul Iran yang diketahui mulai mengembangkan ekspansi ke Afrika. Sempat diagendakan menggelar KTT Afrika-Israel di Togo pada Oktober 2017, namun KTT tersebut ditunda. Salah satu agenda KTT, yaitu menghadapi ancaman Iran.