JAKARTA, KOMPAS – Di negara bekas jajahan negara-negara di Eropa, era kolonialisme bisa dijadikan rujukan untuk mengenali identitas bangsa melalui kajian pascakolonialisme. Khusus di Indonesia, menelaah perbedaan etnis dengan kajian tersebut, bisa mencegah terjadinya intoleransi .
Sayangnya, pengembangan kajian pascakolonialisme di Indonesia belum menjadi perhatian. Ini seperti yang disampaikan oleh Sejarawan sekaligus Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid dalam Forum Terbuka bertajuk “Perspektif Pascakolonial dari Belahan Selatan Dunia” di Goethe Institut, Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Hilmar mengatakan, kajian pascakolonialisme bisa dijadikan rujukan untuk menentukan golongan kelompok. Misalnya, berkaitan dengan minoritas dan mayoritas. Menurutnya, ada berbagai hal yang bisa diperhatikan untuk menentukannya. Antara lain dengan mempertimbangkan konteks historis dan geografis dari masing-masing kelompok.
“Indonesia amat beragam, sehingga tidak bisa kita pukul rata mana saja kelompok yang dominan,” kata Hilmar.
Melalui kajian pascakolonial, ada banyak manfaat yang bisa diambil agar bangsa ini mulai berpikir tentang hal-hal yang selama ini belum diperhatikan. Misalnya, kaitannya dalam memahami urusan perbedaan antar etnik di Indonesia.
Terkadang, karena analisis historisnya tidak dilakukan secara mendalam, akhirnya perbedaan antar etnis dipahami secara stereotip.
Konstruksi etnik orang Batak dan Jawa misalnya, tidak hanya berakar dari diri mereka sendiri, melainkan ada campur tangan dari pihak luar.
“Belanda dulu perlu kategori untuk menamai kita yang beragam ini. Konstruksi itu yang kemudian kita adopsi menjadi identitas,” ungkap Hilmar.
Menurut Hilmar, konstruksi etnik tersebut harus dipahami. Utamanya jika antar etnik tersebut tengah tersulut konflik. “Tidak sedikit diantara kita berkonflik karena konstruksi semacam itu,” ungkap Hilmar.
Cross Cultural Health and Chlinical Psychology Universitas Gadjah Mada, Kwartarini Wahyu Yuniarti, mengatakan bahwa perbedaan tersebut sejatinya memang sudah ada sebelum era kolonial. Namun, konflik yang terjadi di dalamnya adalah hasil dari kolonialisasi melalui devide et impera.
Menurut Wahyu, hal itu menjadi salah satu konstruksi mental dari kolonialisasi. Jika tidak disadari oleh masyarakat, akan sangat berbahaya. “Jadi, harus kita lakukan distruksi. Jika tidak kita akan mudah terpecah belah,” ungkap Wahyu.
Indonesia lambat
Hilmar mengatakan bahwa kajian pascakolonialisme di Asia, banyak berkembang di era 90-an, terutama India. Adapun Indonesia saat itu berada pada masa Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi ataupun berpendapat. Hal itu dinilai Hilmar sebagai salah satu alasan mengapa kajian pascakolonialisme di Indonesia lambat perkembangannya.
“Oleh karena itu, di Indonesia resonansinya kurang,” ujar Hilmar.
Penyebab lainnya, karena tidak ada isu yang mendesak untuk dibicarakan atau dianalisis di Indonesia pada saat itu. “Justru isu penting yang kaitannya dengan kajian pascakolonialisme ada di masa sekarang,” tambahnya.
Profesor Filsafat dan Sastra dari Department of Humanities and Social Sciences, Indian Institute of Technology Delhi, Divya Dwivedi, mengatakan bahwa era kolonialisme di setiap negara bisa dijadikan titik yang signifikan. Titik yang dimaksud adalah untuk melihat masa lalu dan masa depan.
“Dengan itu, setiap negara bisa menarik hubungan dari apa yang terjadi pada masa lalu dan direfleksikan pada masa depan,” kata Divya.
Menurut Divya, teori yang aplikatif dan konstrukstif dalam kajian paskakolonial menjadi penting dalam mempelajari pembentukan sejarah bangsa. Misalnya, dalam melihat persamaan negara bekas jajahan kolonial.
“Ada kecenderungan yang sama, semisal eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja pribumi serta penghapusan hubungan sosial,” ujar Divya. (FAJAR RAMADHAN)