YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, tokoh yang berada di balik pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, dinilai mengancam kebebasan pers di Indonesia. Komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum dan kebebasan pers dipertanyakan mengingat banyak kasus pembunuhan jurnalis belum diungkap.
Remisi itu diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Susrama yang semula dihukum penjara seumur hidup menjadi hanya dihukum 20 tahun penjara setelah mendapatkan remisi itu.
”Pemberian remisi ini tentu menjadi ancaman bagi kebebasan pers di mana banyak kasus jurnalis lain yang dibunuh tetapi belum dituntaskan sampai hari ini,” kata Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Tommy Apriando di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Kamis (24/1/2019).
Belasan orang yang terdiri dari anggota AJI Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta, Indonesia Court Monitoring Yogyakarta, dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Yogyakarta menggelar aksi unjuk rasa terkait keputusan remisi tersebut. Mereka menuntut agar keputusan remisi itu dibatalkan atau dicabut agar tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan kemerdekaan pers di Indonesia.
”Kami mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 terkait pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis Prabangsa di Bali. Jika tidak dicabut, kami menyiapkan langkah untuk melakukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara terhadap keputusan presiden tersebut,” kata Tommy.
Dalam menyampaikan tuntutannya, Tommy bersama para peserta aksi mengirimkan surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Ia meminta agar keputusan remisi itu dicabut dalam tenggat 7 x 24 jam melalui surat tersebut.
Direktur LBH Pers Yogyakarta Pito Agustin mengatakan, pemberian remisi merupakan langkah mundur bagi pemerintahan dalam upaya penegakan hukum dan kebebasan pers. Komitmen pemerintah terhadap kedua hal tersebut menjadi pertanyaan mengingat banyak kasus penganiayaan ataupun pembunuhan jurnalis yang belum diungkap.
”Ini harus dipertanyakan kenapa remisi diberikan? Padahal, kasus jurnalis lain belum diusut tuntas,” kata Pito.
Ia mengungkapkan, jika remisi itu tetap diberikan, ia khawatir kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap jurnalis kian tidak mendapatkan perhatian. Sebab, dalam kasus pembunuhan Prabangsa, sebenarnya penegak hukum menunjukkan keseriusannya dengan bekerja secara adil ditunjukkan dari putusan hukuman seumur hidup kepada pelaku. Hal itu memberikan keadilan bagi keluarga Prabangsa.
”Ini sangat mengancam kemerdekaan pers mendatang jika remisi tetap diberikan. Tidak menutup kemungkinan, kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan jurnalis mengalami impunitas. Kami sepakat remisi ini harus dicabut,” tegasnya.
Prabangsa dibunuh pada 11 Februari 2009. Redaktur berita-berita daerah Radar Bali itu ditemukan tak bernyawa dengan kondisi tubuh rusak pada 16 Februari 2009 di Teluk Bungsil, perairan Padang Bai, Karangasem, Bali. Kasus itu berawal dari berita yang dibuat Prabangsa pada tanggal 3, 8, dan 9 Desember 2008 tentang dugaan korupsi pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli. Susrama yang terusik dengan pemberitaan itu pun merencanakan pembunuhan terhadap Prabangsa. (Kompas, 23/1/2019)
Jika tidak dicabut, kami menyiapkan langkah untuk melakukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara terhadap keputusan presiden tersebut.
Terkait hal itu, Direktur Indonesian Court Monitoring Yogyakarta Tri Wahyu menyatakan, pemberian remisi sekaligus menjadi kabar buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Hal itu didasari pemberitaan mengenai kasus korupsi yang kerap disoroti Prabangsa.
”Ini kabar buruk bagi kemerdekaan pers dan pemberantasan korupsi. Karena, profil dari Prabangsa adalah jurnalis antikorupsi,” kata Wahyu.